Menghormati Sahabat Nabi SAW
Yang  dimaksud sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang pernah melihat Nabi  SAW dalam keadaan Islam dan meninggal dunia tetap pada keislamannya.
Sahabat  adalah orang-orang yang mulia dan selalu dalam petunjuk Allah SWT.  Diantara mereka ada yang telah dijamin masuk surga. Mereka adalah  orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, rela mengorbankan harta  bahkan nyawa demi agama Allah SWT. taat beribadah kepada Allah SWT  dengan sepenuh hati, bersujud demi mengabdi kepada Allah SWT. firman  Allah:
مُحَمَّدٌ  رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ  رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا  مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ  السُّجُودِ...(الفتح : 29)
“Muhammad  itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah  keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,  kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan  keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas  sujud.” (QS. Al-Fath: 29)
Setiap orang mukallaf wajib menghormati para sahabat Nabi SAW khususnya Khulafur Râsyidin yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallohu alaihim. 
Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa terdapat pertalian darah antara Nabi Muhammad SAW dan Khulafur Râsyidin,  terlebih Sayyidina ‘Utsmân RA yang merupakan putra dari sepupu Nabi SAW  yakni Arwa, sebagai putri dari bibi Nabi Muhammad SAW yang bernama  al-Baidha’ binti Abdul Muththalib. Sedangkan Sayyidina ‘Alî RA adalah  sepupu Nabi Muhammad SAW putra paman Nabi yang bernama Abu Thalib.
Di  samping itu, keduanya merupakan menantu Nabi Muhammad SAW. Sayyidina  ‘Utsmân menikah dengan dua putri Rasul SAW secara bergantian, yakni  Sayyidatuna Ruqayyah RA dan Sayyidatuna Ummu Kultsûm RA. Sedangkan  sayyidina ‘Alî RA menikah dengan Sayyidatuna Fâthimah RA. Begitu pula  dengan Sayyidina Abû Bakr RA dan Sayyidina ‘Umar RA yang merupakan  mertua Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menikah dengan Aisyah binta  Abû Bakr RA dan Hafshah binta ‘Umar RA.
Inilah  salah satu alasan mengapa Nabi Muhammad sangat mencintai para  sahabatnya. Nabi Muhammad SAW tidak segan-segan memuji para sahabatnya  dan menyebutnya sebagai generasi terbaik Islam.
عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ. (صحيح البخاري رقم 2457) 
“Dari  sahabat 'Imron bin Hushain ra ia berkata. Nabi SAW bersabda,  “Sebaik-sebaik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya  lalu generasi sesudahnya”. (Shahih al-Bukhari, [2457]).
Kecintaan  itu juga ditunjukkan oleh ahlul bait atau keluarga Nabi SAW kepada para  sahabat, begitu pula para sahabat yang sangat mencintai dan menghormati  keluarga nabi. Bahkan musibah perselisihan yang terjadi pada sebagian  sahabat tidak dapat dijadikan tanda kalau di antara para sahabat tidak  terjalin persaudaraan yang sangat erat. Justru sebaliknya, jalinan  kemesraan yang bertaut di hati mereka ibarat cinta bersambut, kasih  berjawab. Indahnya pergaulan antara keluarga dan sahabat Nabi SAW harus  diteladani oleh umat Islam. Hal ini terungkap dari tutur kata dan  perbuatan mereka yang menunjukkan hal tersebut.
1. Sayyidina Alî KW berkata tentang sahabat Abû Bakr RA dan Umar RA:
إِنَّ خَيْرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا اَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. (الشافي ج 2، ص60)
“Sesungguhnya umat yang paling baik setelah Nabinya adalah Abû Bakar RA dan Umar RA.” (al-ٍSyafi Juz 2 hal. 60).
2. Sayyidina Alî KW juga berkata tentang Sayyidina Umar RA sebagai berikut:
لَمَّا غُسِلَ عُمَرُ وَكُفِنَ دَخَلَ عَلِيٌّ وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: مَا عَلَى اْلأَرْضِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ اَنْ أَلْقَى اللهَ بِصَحِيْفَتِهِ مِنْ هَذِ الْمُسَجَّى بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ. (معاني الأخبار ص:53)
"Ketika  sahabat ‘Umar dimandikan dan dikafani, Sayyidina Alî RA masuk, lalu  berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai  untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang  terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (al-Syî`ah Minhum `Alaihim, 53).
Sikap  Sayyidina Alî RA ini merupakan ekspresi spontan dari lubuk hati  terdalam bahwa di dalam hati beliau benar-benar tertanam jalinan kasih  dan tambatan sayang kepada Sayyidina Umar RA. Sebab mustahil beliau  melakukannya sekedar taqiyah (pura-pura) karena takut pada Sayyidina  Umar RA, sebab pada waktu itu Sayyidina Umar RA telah meninggal dunia.
3. Ucapan Sayyidina Abû Bakar RA, tentang keluarga Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَقَرَابَةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِيْ. (صحيح البخاري رقم: 3730).
“Dari  Aisyah RA, sesungguhnya Abû Bakar RA berkata, “Sungguh kerabat  Rasûlullâh SAW lebih aku cintai daripada keluargaku sendiri.” (Shahîh Bukhârî, [3730]).
4. Pada kesempatan yang lain, Abû Bakar RA juga berkata:
اُرْقُبُوْا مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فِيْ أَهْلِ بَيْتِهِ. (صحيح البخاري 3436)
“Perhatikan Nabi Muhammad SAW terhadap ahli baitnya.” (Shahîh al-Bukhârî [3436]).
5.  Dari 33 putra Sayyidina Ali RA tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar,  Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan RA dua di antaranya  diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain  RA dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini  tentu saja dipilih dari nama orang-orang yang menjadi idolanya, dan  tidak mungkin diambil dari nama musuhnya. (Lihat, Al-Hujaj al-Qath’iyyah,  hal. 195). Bagi Ahlussunnah Sayyidina Ali RA adalah hamba Allah yang  mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali RA adalah seorang  pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut. Sebagai pemimpin  pasukan, di antara sekian banyak peperangan yang dilakukan pada zaman  Rasul, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu  tidak mungkin beliau melakukan sikap pura-pura atau taqiyah  apalagi mengajarkannya. Di samping itu, Sayyidina Ali adalah sosok yang  bersih hatinya dan jauh dari sifat balas dendam. Sikap dan prilaku  beliau telah membuktikan bahwa beliau bukan jenis manusia yang di dalam  hatinya penuh dengan dendam kesumat, karena itu tidak mungkin beliau  mengajarkan raj’ah yang identik dengan balas dendam.
Bahkan  lebih jauh, jalinan kasih sayang antara para sahabat dan keluarga Nabi  Muhammad SAW berlangsung hingga keturunan mereka bahkan, berlanjut  sampai tingkatan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar RA menikah dengan  Ummi Kultsûm RA putri Sayyidina Ali RA, Zaid bin Amr bin Utsmân bin  Affân RA menikah dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abî Thâlib.  Fathimah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Abdullah  bin Amr bin Utsman bin Affan lalu mempunyai putra bernama Muhammad. (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz 4, hal 120 dan 114)
Begitu  pula sikap yang dicontohkan oleh Imam Ja'far al-Shâdiq ketika beliau  ditanya tentang sikapnya kepada sahabat Abu Bakar dan Umar. Beliau  menjawab, “Keduanya adalah pemimpin yang adil dan bijaksana. Keduanya  berada di jalan yang benar dan mati dengan membawa kebenaran.  Mudah-mudahan rahmat Allah SWT selalu dilimpahkan kepada keduanya hingga  hari kiamat.” (Ihqâq al-Haq li al-Syusyturî, juz 1, hal 16).
Dalam konteks ini pula Imam Ja‘far al-Shâdiq RA berkata:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ. (رواه الدارقطنى)
“Aku telah dilahirkan oleh Abû Bakr dua kali.” (Riwayat al-Dâraquthni).
Silsilah  yang pertama dari ibunya, yang bernama Ummu Farwah binti al-Qâsim bin  Muhammad bin Abû Bakar al-Shiddîq. Dan kedua dari neneknya yakni istri  al-Qâsim yang bernama Asmâ’ binti Abdurrahmân bin Abû Bakar al-Shiddîq.  (Fâthimah al-Thâhirah, RA, 113).
Dengan  demikian, kita harus memberikan penghormatan yang proporsional terhadap  keluarga Nabi SAW dan semua sahabatnya. Kita tidak boleh mencela  seorang di antara mereka. Dalam konteks ini, Imam Abdul Ghani  al-Nabulusi berkata:
وَصَحْبُهُ جَمِيْعُهُمْ عَلَى هُدَى # تَفْـضِيْلُهُمْ مُرَتَّـبٌ بِلاَ اعْتِدَا
فَـهُمْ أَبُوبَكْرٍ وَبَعْـدَهُ عُمَرْ # وَبَعْدَهُ عُثْمَانُ ذُو الْوَجْهِ الأَ غَرْ
ثُمَّ عَلِيٌّ ثُمَّ بَـاقِي الْعَشَرَةْ # وَهِـيَ الَّتِيْ فِىْ جَـنَّةٍ مُبَشَّرَةْ
Semua sahabat Nabi SAW selalu mengikuti jalan petunjuk, keutaman mereka dijelaskan dalam urutan berikut tanpa melampauinya.
Mereka  adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman yang memiliki wajah  yang cerah Kemudian Ali, kemudian sisa sepuluh orang sahabat yang  dikabarkan oleh Nabi SAW akan masuk surga
Syarh:
Semua  shabat Nabi SAW, secara umum selalu mengikuti jalan kebenaran yakni  petunjuk Nabi SAW, sehingga kita tidak boleh membicarakan mereka kecuali  dengan baik. Sedangkan sahabat yang paling utama menurut Ahlussunnah  Wal-Jama'ah adalah sesuai urutan berikut ini, Abu Bakar, Umar, Utsman,  Ali, kemudian sisa sepuluh orang sahabat yang dikabarkan akan masuk  surga oleh Nabi SAW, yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,  Sa'ad bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf dan Abu  Ubaidah bin al-Jarrah.
Di  sini mungkin ada yang bertanya, mengapa kita harus menghormati dan  mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW tercinta? Untuk menjawab  pertanyaan ini, ada banyak hadits-hadits nabi yang memerintahkan umat  Islam untuk mencintai Ahlul Bait Nabi dan para sahabatnya. Diantaranya  sebagai berikut: 
أَحِبُّونِي لِحُبِّ اللهِ، وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي لِحُبِّي (رواه الحاكم في المستدرك ، ج :3، ص: 149)
"Cintailah aku karena cintamu kepada Allah, dan cintailah ahlu baitku karena cintamu kepadaku”. 
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
"Tidak  akan menjadi kenyataan iman salah seorang di antara kamu, sehingga aku  lebih dicintai oleh kamu melebihi anak, orang tua dan seluruh manusia."
Sedangkan  kecintaan kepada Nabi SAW tidak akan sempurna kecuali disertai dengan  mencintai orang-orang yang dicintai Nabi SAW. Demikian itu menuntut kita  untuk mencintai keluarga Nabi SAW, mencintai kerabat-kerabat Nabi SAW  yang dicintainya dan mencintai para sahabatnya." (Al-Durar al-Naqiyyah  hal. 35).
Isro’ Dan Mi’roj Nabi Muhammad SAW.
وَقَبْــلَ هِجْـرَةِ النَّبِيِّ اْلإِسْرَا # مِـنْ مَكَّةٍ لَيْلاً لِقُـدْسٍ يُدْرَى
وَبَعْـدَ إِسْـرَاءٍ عُرُوْجٌ لِلسَّمَا # حَتَّى رَأَى النَّـبِيُّ رَبًّا كَلَّـمَا
مِنْ غَيْرِ كَيْفٍ وَانْحِصَارٍ وَافْتَرَضْ # عَلَيْهِ خَمْسًا بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ
Dan sebelum hijrah, Nabi melakukan isra' (perjalanan di malam hari) dari Mekah ke Baitul Makdis
Dan setelah Isra’ Nabi naik ke langit sampai Nabi melihat Tuhan (Allah) yang berbicara tanpa diketahui caranya dan tanpa batas
Dan difardhukan atasnya lima shalat setelah mewajibkan lima puluh (50) shalat
Syarh:
Isra’ mi’raj merupakan perjalanan yang istimewa sekaligus kejadian luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Terjadi pada malam Senin tanggal 27 Rajab tahun 621 M. Satu tahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.
Isra’ mi’raj merupakan perjalanan yang istimewa sekaligus kejadian luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Terjadi pada malam Senin tanggal 27 Rajab tahun 621 M. Satu tahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.
Isra’  adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjid al-Haram  (Makkah) ke Masjid al-Aqsha (Palestina). Sedangkan mi’raj adalah naik ke  langit, sampai ke langit yang ketujuh bahkan ke tempat yang paling  tinggi yaitu Sidrah al-Muntaha.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ .(الإسراء، 1)
“Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjid al-Haram (Makkah) ke Masjid al-‘Aqsha (Palestina) yang Kami berkati sekelilingnya untuk Kami perlihatkan ayat-ayat Kami kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ : 1).
Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah meninggalnya dua orang yang selalu membantu dakwah islamiyyah, yakni Abu Tholib paman beliau dan Sayyidatuna Khadijah istri beliau. Sekaligus sebagai perjalanan spiritual bagi Rasulullah SAW, karena selama dalam perjalanan, Rasulullah SAW banyak menyaksikan bahkan mengalami kejadian-kejadian luar biasa, pelajaran yang sangat berguna untuk menempa hati/jiwa beliau sebagai seorang nabi dan rasul Allah SWT.
Isra’  Mi’raj terjadi di luar kemampuan akal manusia. Secara gamblang, Surat  al-Isra’ ayat :1 tersebut menyatakan bahwa Allah SWT telah  memberangkatkan hamba-Nya untuk melakukan safari suci dengan ruh dan  jasad Nabi Muhammad SAW, yaitu isra’ dan mi’raj. Berdasarkan ayat ini  mayorits ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan isra’  mi’raj dengan ruh dan jasadnya. Imam Nashiruddin Abu al-Khair ‘Abdullah  bin ‘Umar al-Baidhawi mengatakan:
“Dan  diperselisihkan apakah isrâ’ dan mi’raj terjadi pada waktu tidur  (sekedar mimpi belaka) ataukah dalam keadaan sadar? Dengan ruh (saja)  atau sekaligus ruh dan jasadnya? Mayoritas ulama berpendapat bahwa Allah  SWT meng-isrâ’-kan Nabi SAW dengan jasadnya (dari Masjid al-Haram) ke  Bait al-Maqdis kemudian menaikkan beliau ke beberapa langit sampai  berhenti di Sidrah al-Muntahâ.” (Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz I, hal 576).
Kewajiban Sholat Lima Waktu
وَبَلَّـغَ اْلأُمَّةَ بِاْلإِسْـرَاءِ # وَفَرْضِ خَمْسَةٍ بِلاَامْتِرَاءِ
Nabi menyampaikan kepada umatnya tentang Isra’ dan mewajibkan salat 5 waktu kepada semua umat tanpa keraguan
Syarh:
Kewajiban  shalat lima waktu disampaikan oleh Allah kepada Nabi SAW pada saat  isra'. Dari sini dapat dipahami tentang keutamaan shalat dari ibadah  yang lain. Perintah shalat disampaikan langsung oleh Allah SWT tanpa  perantara siapapun. Tidak seperti ibadah lain yang diwajibkan melalui  perantara Malaikat Jibril.
Jika  seorang pimpinan menyampaikan perintah yang secara langsung kepada  bawahannya, maka kualitas perintah itu akan lebih tinggi dari pada  sesuatu yang disampaikan melalui tangan kedua, oleh staf dan bawahannya.  Perbuatan itu sangat penting, sehingga harus disampaikan sendiri.
Dari  sisi ini, kita bisa melihat posisi shalat dalam agama Islam. Shalat  memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga  menjadi ruh agama Islam. Karena itu sangat wajar, jika Rasulullah SAW  mengatakan bahwa shalat adalah unsur terpenting dalam agama Islam dan  amal pertama yang dihitung kelak di akhirat. 
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
اَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلاَتُهُ فَاِنْ قُبِلَتْ تُقُبِّلَ عَنْهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَاِنْ رُدَّتْ رُدَّ عَنْهُ سَائِرُ عَمَلِهِ. (رواه الطبراني)
“Amal  pertama kali dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalat.  Jika shalatnya diterima, maka diterimalah semua amalnya, namun bila  shalatnya ditolak, maka ditolak pula seluruh amalnya.” (HR. Thabrani).
Berawal  dari shalatlah semua perilaku yang baik dan terpuji akan bersemi.  Shalat yang sempurna dan khusyu’ serta dilaksanakan dengan ikhlas karena  Allah SWT. akan menjadikan seseorang untuk selalu mengingat Allah SWT,  karena itulah tujuan dari shalat tersebut. 
Firman Allah SWT:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي. (طه، 14)
"Sesungguhnya  Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka  sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thaha :  14).
Ketika  Allah SWT telah hadir dalam setiap denyut nadi dan hembusan nafas, maka  dari sanalah akan tersemai segala perbuatan baik dan terpuji. Dan  dengan sendirinya semua prilaku buruk dan tercela akan menjauh. Inilah  yang dimaksud oleh Firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (العنكبوت : 45)
"Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar." (QS. al-Ankabut : 45).
Keutamaan Shahabat Abu Bakar as-Shidiq RA.
قَدْ فَازَ صِدِّيْقٌ بِتَصْدِيْقٍ لَهُ # وَبِالْعُرْوِجِ الصِّدْقُ وَافَى أَهْلَهُ
Sahabat  Abu Bakar al-Shiddiq telah beruntung dengan mempercayai isra' dan  mi'raj, dan kebenaran tentang mi'raj datang kepada pengikutnya
Syarh:
Setelah melakukan isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada kaum Quraisy Mekkah, namun tidak seorangpun yang mempercayainya dan menganggap Nabi mengada-ada dan membuat berita palsu. Kecuali satu orang sahabat yang langsung mempercayainya, yakni sahabat Abu Bakar RA. Bahkan beliau berkata, “Jangankan peristiwa itu, lebih aneh dari itupun aku percaya, kalau Nabi Muhammad SAW yang mengatakannya”. Itulah sebabnya beliau diberi gelar as-Shiddiq (seorang yang selalu membenarkan Nabi Muhammad SAW).
Setelah melakukan isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada kaum Quraisy Mekkah, namun tidak seorangpun yang mempercayainya dan menganggap Nabi mengada-ada dan membuat berita palsu. Kecuali satu orang sahabat yang langsung mempercayainya, yakni sahabat Abu Bakar RA. Bahkan beliau berkata, “Jangankan peristiwa itu, lebih aneh dari itupun aku percaya, kalau Nabi Muhammad SAW yang mengatakannya”. Itulah sebabnya beliau diberi gelar as-Shiddiq (seorang yang selalu membenarkan Nabi Muhammad SAW).
Sebelum  peristiwa isra’ mi’raj tersebut, Nabi Muhammad SAW diberi gelar oleh  penduduk Makkah dengan sebutan al-Amin. Yakni orang yang dapat  dipercaya. Semua masyarakat Makkah percaya bahwa perkataan Nabi pasti  benar, selalu jujur serta tidak pernah menipu. Namun ketika Nabi  Muhammad SAW menyampaikan cerita isra’ mi’raj, kebanyakan masyarakat  langsung tidak mempercayainya. Hal ini menunjukkan bahwa isra’ mi’raj  adalah kejadian yang sangat luar biasa sehingga mampu menimbulkan  keraguan mayoritas masyarakat Arab kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun  bagi orang beriman yang mempercayai bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang  Maha Kuasa, kejadian tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Sangat  mungkin sekali, sebab beliau tidak berangkat dengan kemauan sendiri,  tapi Allah SWT-lah yang berkehendak. Tak ada sesuatu yang mustahil bagi  Allah SWT jika Dia menghendaki, walaupun itu di luar kemampuan manusia.
Ibarat  seekor semut yang “menumpang” naik pesawat terbang dari Jakarta menuju  Surabaya, kemudian kembali lagi ke Jakarta. Yang pasti, kaum semut tidak  akan percaya akan cerita si semut yang telah melakukan perjalanan dalam  waktu sesingkat itu. Tapi hal itu sangat mungkin terjadi, sebab dia  memakai kendaraan yang kecepatannya tidak pernah terbayangkan oleh kaum  semut. (Fiqh Tradisionalis, 250).
Begitu  pula dengan isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa itu tidak akan  terbayangkan oleh akal manusia, sebab yang digunakan Nabi SAW adalah  kendaraan yang kecepatannya di luar jangkauan serta tidak pernah  terbayangkan oleh akal manusia, yakni Buraq.
Penutup
وَهَـذِهِ عَقِيْدَةٌ مُخْتَصَرَةْ # وَلِلْعَـوَامِ سَهْلَةٌ مُيَسَّرَةْ
Ini adalah Aqidatul yang ringkas, yang mudah untuk dipelajari dan dipermudah untuk orang awam
نَاظِمُ تِلْكَ أَحْمَدُ الْمَرْزُوْقِي # مَنْ يَنْتَمِى بِالصَّادِقِ الْمَصْدُوْقِ
Sedangkan  yang menazhamkan Aqidh tersebut adalah Ahmad al-Marzuqi, seorang yang  nasabnya bersambung kepada Nabi SAW yang berkata benar dan dipercaya
Syarh:
Inilah akidah yang wajib diyakini oleh seluruh umat Islam. Akidah yang mudah untuk dipahami, diyakini kemudian diamalkan oleh seluruh umat Islam. Yakni akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang merupakan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya kemudian diteruskan oleh ulama salafus shalih dan akhirnya sampai kepada kita.
Inilah akidah yang wajib diyakini oleh seluruh umat Islam. Akidah yang mudah untuk dipahami, diyakini kemudian diamalkan oleh seluruh umat Islam. Yakni akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang merupakan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya kemudian diteruskan oleh ulama salafus shalih dan akhirnya sampai kepada kita.
Penulis  nadhom aqidah ini ialah as-Sayyid Ahmad bin as-Sayyid Ramadhan  al-Marzuqi al-Hasani al-Husaini beliau dilahirkan di Simbath tahun 1205  H. Dan wafat di Makkah sekitar tahun 1281 H.
اَلْحَـمْدُ ِللهِ وَصَلَّى سَلَّمَا # عَلَى النَّبِيِّ خَيْرِ مَنْ قَدْ عَلَّمَا
Segala  puji bagi Allah, dan mudah-mudahan Allah memberi shalawat dan salam  sejahtera kepada Nabi Muhammad, yaitu orang yang paling baik dalam  mengajar manusia
وَاْلآلِ وَالصَّحْبِ وَكُلِّ مُرْشِدٍ # وَكُلِّ مَنْ بِخَيْرِ هَدْيٍ يَقْتَدِي
Begitu  juga kepada keluarga dan para sahabatnya serta setiap orang yang  menunjukkan kebenaran dan orang yang mengikuti jalan yang benar
Syarh:
Setelah  dibuka dengan hamdalah dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga  dan sahabatnya, pada akhir bait dari kitab Aqidah ini, juga ditutup  dengan hal yang sama. Selain  dimaksudkan sebagai upaya mengharapkan pertolongan Allah SWT serta  barokah dari Rasul, keluarga dan sahabatnya, hal ini sekaligus merupakan  pengakuan akan kebesaran Allah SWT, serta puji syukur atas nikmat Allah  SWT yang telah diberikan kepada penulis.
Pengakuan  bahwa tanpa ada belas kasih dan pertolongan Allah SWT penulis tidak  akan mampu untuk menyusun nadham yang ringkas dan dengan bahasa yang  gampang untuk dipahami. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah  memberikan anugerah akal fikiran kepada manusia, sebagai salah satu  nikmat yang sangat berharga yang dimiliki manusia. karena dengan akallah  manusia dapat dibedakan dari makhluk Allah SWT yang lain.
وَأَسْأَلُ الْكَرِيْمَ إِخْلاَصَ الْعَمَلْ # وَنَفْعَ كُلِّ مَنْ بِهَا قَدِ اشْتَغَلْ
Dan  saya (Sayyid Ahmad al-Marzuqi) memohon kepada Dzat Yang Maha pemurah,  agar dikarunia ketulusan dalam beramal, dan kemanfaatan bagi semua orang  yang mempelajari akidah ini
Syarh:
Ikhlas merupakan kunci dari semua amal agar diterima oleh Allah SWT. Dan merupakan perintah Allah SWT kepada semua kaum muslim yang beribadah dan beramal shalih agar selalu ikhlas. Dan Allah hanya akan menerima amal ibadah yang dilaksanakan dengan ikhlas.
Ikhlas merupakan kunci dari semua amal agar diterima oleh Allah SWT. Dan merupakan perintah Allah SWT kepada semua kaum muslim yang beribadah dan beramal shalih agar selalu ikhlas. Dan Allah hanya akan menerima amal ibadah yang dilaksanakan dengan ikhlas.
Firman Allah SWT:
هُوَ الْحَيُّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْد للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. (المؤمن، 65)
"Dialah  Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia;  maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi  Allah Tuhan semesta alam." (QS. al-Mukmin : 65).
أَبْياَتُهَا مَيْزٌ بِعَـدِّ الْجُمَلْ # تَارِيْخُهَا لِي حَيُّ غُرٍّ جُمَلِ
Adapun bait-bait akidah ini adalah berjumlah 57 dengan hitungan Abajadun, sedangkan waktu selesainya adalah tahun 1258
سَمَّـيْتُهَا عَقِـيْدَةَ الْعَوَامِ # مِنْ وَاجِبٍ فِي الدِّيْنِ بِالتَّمَامِ
Kami menamakan akidah ini dengan judul Aqidatul Awam yang menerangkan masalah wajib di dalam agama secara sempurna.
Disadur dari buku Aqidah Ahlussunnah Waljamaah Terjemah dan Syarah 'Aqidah al-'Awam
Oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad
makasih sekali