Archive for Juni 2011

Thaharoh ( Bersuci )

THOHÂROH
( BERSUCI )
­­­­­­­­­­­­
A.    Definisi Thohârah
Thohârah berasal dari bahasa arab " طَهَارَةٌ " yang berarti bersih atau suci dari kotoran, baik yang berwujud dzat (Hissiyah) atau yang tidak berwujud (ma’nawiyah). Diantara Kotoran yang berwujud seperti kencing, tinja dan lain sebagainya, sedangkan yang bersifat ma`nawiyah seperti syirik dan semua akhlak yang tercela.
Sedangkan thohârah menurut syari' terdapat beberapa pengertian. Sebagian ulama` berpendapat bahwa thohârah ialah mengerjakan sesuatu[1] yang menyebabkan seseorang diperbolehkan menunaikan ibadah shalat dan semisalnya, Yakni seperti wudlu, tayammun, dan menghilangkan najis. Sebagian yang lain mendefinisikan bahwa thohârah  yaitu bersih dari najis, baik najis yang bersifat hakikiy yakni kotoran najis maupun yang bersifat hukmiy yakni hadats.[2]    
B.    Pembagian Thohârah
Dengan memahami pengertian di atas, thohârah dapat dibagi menjadi dua, yakni:
1.  Thohârah  dari hadats.
Thohârah  ini yang dimaksud adalah wudlu', mandi dan tayammum.  
2.  Thohârah  dari najis.
Thohârah  ini yang dimaksud adalah mensucikan najis yang ada pada badan, tempat dan pakaian kita.
C.    Sumber Hukum Thoharah.
Pada dasarnya thoharah mempunyai hukum yang berkaitan erat dengan ibadah lain. Seperti sholat, thowaf, menyentuh mushaf dan lain sebagainya. Berkenaan dengan sholat thoharah hukumnya wajib, dan tidak sah jika tidak dalam keadaan suci, karena thoharah merupakan syarat sahnya sholat. Abu Hurairoh meriwayatkan hadits dari Rasululloh SAW. tentang hal ini, beliau SAW bersabda:
«لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ». (صحيح البخاري)
“Tidak akan diterima sholat seseorang yang berhadats hingga ia berwudlu`”.[3]
Begitu juga thowaf yaitu sama dengan sholat. Begitu juga dalam menyentuh mushaf, tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi suci dari hadats.

Seperti firman Allah SWT yang berbunyi:
﴿ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ  [الواقعة:79]
"Tidak boleh menyentuhnya (al-qur`an) kecuali bagi mereka yang dalam keadaan suci."
Dalam segala situasi bahkan kita dianjurkan supaya dalam keadaan suci. Sebab itu, Allah mencintai orang-orang yang dalam keadaan suci. Seperti firman-Nya dalam surat Al Baqarah ayat 222:
﴿ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴾ [البقرة:222]
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci."
Jadi hukum thaharah wajib dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi syarat sahnya suatu ibadah.
D.    Alat Thohârah
Alat yang dapat digunakan untuk bersuci –baik dari hadats maupun najis- ada empat macam, yaitu:
1.     Air
2.     Debu
3.     Batu
4.     Dabghu (sama`)
Sebagian ulama` muta`khirin menambahkan sabun sebagai pelengkap alat bersuci.
E.     Air Sebagai Alat Thaharah
a.  Macam-macam air untuk bersuci.
Air merupakan sarana yang fundamental dalam hal thaharah. Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci adalah air yang bersih (suci dan menyucikan), yaitu air yang turun dari langit atau bersumber dari bumi yang  tidak terkena najis dan belum di pakai untuk bersuci.
Ditinjau dari sumber asalnya, air terbagi menjadi tujuh macam:
1.   Air hujan. Yakni air yang turun dari langit dalam bentuk air. Sesuai firman Allah SWT:
﴿ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ ... ﴾ [الأنفال:11]  
Artinya: dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu”.

2.     Air sumur. Yakni air yang bersumber dari dalam tanah. Allah SWT berfirman:
﴿ أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي اْلأَرْضِ [الزمر: 21]
Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi…”.
Dalam hadits riwayat Sahal disebutkan:
"...يَا رَسُولَ الله إِنَّكَ تتوضأ من بِئْر بُضَاعَة وفيهَا مَا يُنجِي النَّاسُ وَالْحَائِضُ وَالْجنُبُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: «المَاءُ طُهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ» حسنه الترمذي وصححه الإمام أحمد وغيره
Artinya: “Ya Rasululloh, engkau berwudlu dari air sumur Budlo’ah yang digunakan orang-orang untuk bersuci (istinja`), untuk mandi orang yang haidl maupun junub. Rasululloh menjawab: “air itu suci dan mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu”.
3.   Air laut. Yakni air yang berada di lautan dan memiliki rasa asin secara alami. Rasululloh SAW ditanya tentang air laut kemudian beliau bersabda:
«هُوَ الطّهُورُ مَاؤهُ، الْحِلّ مَيْتَتُهُ»[4]
Artinya: “Laut itu airnya mensucikan dan bangkainya halal dimakan”.
4.     Air sungai. Air yang berada di sungai dan memiliki rasa tawar.
5.     Air salju. Yakni air yang turun dari langit dalam wujud es yang lembut dan halus.
6.     Air es. Air yang turun dari langit dalam wujud beku dan keras. 
7.     Air embun. Air yang turun dari langit pada pertengahan malam dan menempel pada dedaunan atau benda-benda yang lain.
b.  Pembagian Air.
Dari ketujuh air di atas, semuanya dapat digunakan untuk bersuci. Namun dengan dengan syarat air tersebut dihukumi suci dan tidak berubah sifat-sifatnya. Dari sisi hukumnya, air terbagi menjadi empat[5] kategori :
1.     Air thahir muthahir.   
Artinya air tersebut dihukumi suci yang bisa mensucikan sesuatu dan tidak makruh digunakan untuk bersuci. Air ini juga disebut air mutlhlak, sebab air ini masih dalam keadaan murni dan statusnya tidak di pengaruhi oleh hal apapun selain pengaruh tempat.[6] Seperti air yang di sebutkan di atas, semuanya tergolong air muthlak.
2.     Air thahir muthahir, namun makruh digunakan pada badan.
Air ini tergolong air suci dan mensucikan. Namun, makruh digunakan untuk anggota badan manusia dan hewan ternak. Kemakruhan ini disebabkan adanya bahaya yang ditimbulkan dari air  tersebut.
Termasuk kategori ini yaitu air musyammas. Dikatakan air musyammas karena air tersebut panas akibat sengatan matahari di dalam bejana yang terbuat dari logam selain emas dan perak, dan berada di daerah yang panas seperti Negara Yaman saat kemarau.[7]
Jika digunakan untuk anggota badan, akan menimbulkan infeksi pada kulit.[8] Selain air musyammas yaitu air yang sangat panas sebab direbus dan air yang sangat dingin. Kedua air tersebut bisa menghentikan peredaran darah.
Air musyammas dihukumi makruh jika memenuhi sembilan syarat dibawah ini, yaitu:
1.  Berada di kawasan yang cuacanya panas. Seperti Arab Saudi. 
2.  Sengatan matahari bias mempengaruhi perubahan air menjadi berkarat.
3.  Air ditempatkan pada bejana selain emas dan perak.
4.  Penggunaannya saat air masih dalam kondisi panas.
5.  Digunakan untuk tubuh baik bagian luar maupun dalam.
6.  Pemanasannya pada musim kemarau.
7.  Tidak ditemukan selain air tersebut.
8.  Waktu belum mendesak.
9. Tidak terbukti atau tidak ada dugaan adanya madlarat. Jika benar-benar terbukti adanya kemadlaratan, maka haram penggunaannya.
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat imam Rafi`i. Berbeda dengan Imam Nawawi. Beliau berpendapat bahwa tidak tidak ada hukum makruh dalam menggunakan air musyammas.
3.     Air thahir ghairu muthahir.
Artinya, air yang masih dalam kondisi suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Termasuk kategori air thahir ghairu muthahir ada dua, yakni:
1. Air musta'mal, yaitu air yang telah digunakan untuk menyucikan hadats atau menghilangkan najis, selama tidak berubah sifat-sifatnya (warna, rasa dan baunya), serta volume airnya tidak bertambah.
2.  Air mutaghayyir. Yaitu yang telah berubah salah satu sifatnya.
Berdasarkan sebabnya, air Mutaghayyir ada tiga, yaitu :
a.  Mutaghayyir bil-mukhalith.
Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab bersenyawa dengan benda suci lainnya hingga mempengaruhi terhadap nama dan statusnya, semisal air kopi, teh, sirup, susu dll.
b.  Mutaghayyir bi-thaulil muktsi.
Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya sebab terlalu lama diam. Seperti air kolam yang tidak pernah dijamah manusia hingga berubah sifatnya.
c.  Mutaghayyir bil-mujawir.
Yaitu, air yang berubah sifat-sifatnya sebab terpengaruh benda lain yang ada disekitarnya. Semisal air yang berdekatan dengan bunga melati hingga tercium aroma melati pada air tersebut.
Di antara ketiga air mutaghayyir di atas, yang tidak dapat digunakan untuk bersuci hanya air mutaghayyir bil-mukhalith. Sedangkan dua yang lainnya masih bisa digunakan untuk bersuci.
4.     Air mutanajjis,
Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis).
Berdasarkan ukurannya, air Mutanajis ada dua:
1.  Mutanajis dalam ukuran air kurang dari dua qullah.
Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis) sedang volumenya kurang dari dua qullah, baik berubah sifatnya atau tidak.
2.  Mutanajis dalam ukuran air dua qullah atau lebih.
Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis) sedang volumenya ada dua qullah atau lebih hingga najis mempengaruhi terhadap perubahan sifat-sifat air. Dan Jika tidak terjadi perubahan maka sah di gunakan untuk bersuci.
Hal ini sebagaimana  Sedangkan ukuran air dua qullah sama dengan atau mendekati 270 liter atau kubus yang semua sisinya 58 cm.[9][*]


[1]  Yakni wudlu, tayammun, dan menghilangkan najis
[2]  kifayah al-Akyar, hlm. 6
[3] Dikeluarkan (di-takhrij) oleh Muttafaqun ’alaihi, Imam Bukhari (135) dan Imam Muslim (225). Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi serta Abu Dawud (Subul al-Salam Juz 1, hal. 40), Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz 1, hal. 208
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh shahabat yaitu Abu Hurairoh, Jabir bin Abdulloh, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abdulloh bin Umar, Abu Bakar as-Shidiq dan al-Farasiy (Nashbu al-Rayah Juz 1, hal. 90) Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz 1, hal. 114
[5]  Ada satu macam air lagi yaitu air yang suci dan menyucikan tetapi haram memakainya, semisal air yang diperoleh dengan cara ghasab atau mencuri (mengambil tanpa izin), air yang dikhususkan untuk minum (ma`u musabbal li-syarb).
[6] Maksudnya adalah, setiap air yang mengalami perubahan nama atau status karena semata-mata memandang tempat atau wadahnya, semisall air laut. Dinamakan air laut karena air tersebut memang berada di lautan. Apabila dipindah ke dalam kendi, niscaya air tersebut akan berubah namanya menjadi air kendi, dimasukkan ke dalam sumur menjadi air sumur, demikian seterusnya. Berbeda dengan air yang memiliki status atau nama yang permanen, seperti air kopi, air susu, dll. Air ini, diletakkan dalam wadah apapun tetap namanya tidak akan berubah, baik diletakkan dalam gelas, kendi, gallon, maupun yang lainnya. Air yang memiliki status permanen bukan termasuk air yang suci menyucikan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk berwudlu, mandi dan menghilangkan najis.
[7] Untuk Negara Indonesia, termasuk bercuaca sedang, sehingga air yang terkena sengatan matahari tidak masuk kategori musyammas.
[8] Sahabat Nabi pernah ada yang menggunakan air musyammas dan tidak lama kemudian meninggal dunia sebab parahnya infeksi kulit yang ditimbulkan dari karat bejananya. 
[9] al-Tadzhib fi adilati matn al-ghoyah wa al-taqrib, Dr. Musthofa Dib al-Bagho, hal. 11.

Belanja Via Sales dan Zakatnya

Belanja Via Sales dan Zakatnya
Deskripasi :
Sekarang ini banyak sekali sales yang berkeliling menawarkan dagangan mereka ke toko-toko baik di kota maupun di desa. Biasanya para sales itu menitipkan barang dagangan mereka di toko tersebut dan akan menagih uangnya pada waktu yang telah disepakati.
(PCNU Kab. Trenggalek)



Pertanyaan :
a.  Dinamakan akad apakah transaksi semacam itu ?
b.  Siapakah yang wajib menzakati harta itu, apakah sales atau pemilik toko ? 

Jawaban
a.      Bisa disebut :
·       wakalah bil ju’li yakn pemilik barang mewakilkan kepada pihak toko untuk menjual dengan perjanjian mendapatkan bagian yang jelas dari hasil penjualan.   
·   bai’ bi-tsaman mu'ajjal, yakni pemilik barang menjual kepada pihak toko dengan pembayaran secara tempo. Jika pada saat pembayaran masih ada sisa barang yang belum terjual, maka barang tersebut tidak dapat dikembalikan kecuali dengan akad istibdal yakni sisa barang dijadikan sebagai bagian dari tsaman yang harus di bayarkan dengan persetujuan dua pihak dengan syarat barang tersebut tidak rusak. 

Dasar Pengambilan Hukum

Al Hawi al Kabir IV hal. 1187
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : وَهَذَا كَمَا قَالَ ، وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْوَكَالَةَ تَجُوزُ بِجُعْلِ وَبِغَيْرِ جُعْلٍ وَلَا يَصِحُّ الْجُعْلُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا ، فَلَوْ قَالَ : قَدْ وَكَّلْتُكَ فِي بَيْعِ هَذَا الثَّوْبِ عَلَى أَنَّ جُعْلَكَ عُشْرُ ثَمَنِهِ أَوْ مِنْ كُلِّ مِائَةِ دِرْهَمٍ فِي ثَمَنِهِ دِرْهَمٌ لَمْ يَصِحَّ لِلْجَهْلِ بِمَبْلَغِ الثَّمَنِ وَلَهُ أُجْرَةُ مِثْلِهِ . فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي بَيْعِ ثَوْبٍ بِجُعْلٍ مَعْلُومٍ فَبَاعَهُ بَيْعًا فَاسِدًا فَلَا جُعْلَ لَهُ لِأَنَّ مُطْلَقَ الْإِذْنِ بِالْبَيْعِ يَقْتَضِي مَا صَحَّ مِنْهُ ، فَصَارَ الْفَاسِدُ غَيْرَ مَأْذُونٍ فِيهِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ جُعْلًا عَلَيْهِ . فَلَوْ بَاعَهُ بَيْعًا صَحِيحًا وَقَبَضَ ثَمَنَهُ وَتَلِفَ الثَّمَنُ فِي يَدِهِ فَلَهُ الْأُجْرَةُ لِوُجُودِ الْعَمَلِ ، وَهَذَا بِخِلَافِ الصَّانِعِ إِذَا اسْتُؤْجِرَ عَلَى خِيَاطَةِ ثَوْبٍ أَوْ قُصَارَتِهِ فَتَلِفَ فِي يَدِهِ بَعْدَ عَمَلِهِ فَلَا أُجْرَةَ لَهُ إِنْ كَانَ مُشْتَرَكًا . وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْأَجِيرِ تَسْلِيمُهُ الْعَمَلَ الْمُسْتَحَقَّ فِي مُقَابَلَةِ الْعِوَضِ فَمَا لَمْ يَحْصُلِ التَّسْلِيمُ لَمْ يَجِبْ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الْعِوَضِ . وَالْمَقْصُودُ مِنَ الْوَكِيلِ وُجُودُ الْعَمَلِ الْمَأْذُونِ فِيهِ ، فَلَوْ بَاعَ الْوَكِيلُ الثَّوْبَ فَتَلِفَ الثَّوْبُ فِي يَدِهِ قَبْلَ تَسْلِيمِهِ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ بَطَلَ الْبَيْعُ وَلَمْ يَبْطُلْ جُعْلُ الْوَكِيلِ ؛ لِأَنَّ بُطْلَانَهُ بِمَعْنًى حَادِثٍ بَعْدَ صِحَّتِهِ فَصَارَ بِالْعَمَلِ مَوْجُودًا مِنْهُ وَكَانَ بِخِلَافِ وُقُوعِ الْبَيْعِ فَاسِدًا . فَلَوْ سَلَّمَ الثَّوْبَ إِلَى مُشْتَرِيهِ وَقَبَضَ ثَمَنَهُ فَتَلِفَ فِي يَدِهِ ثُمَّ اسْتَحَقَّ الثَّوْبَ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي الوكيل كَانَ الْبَيْعُ فَاسِدًا وَلِلْوَكِيلِ جُعْلُهُ لِأَنَّ بُطْلَانَهُ لَيْسَ مِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ ، فَصَارَ مَقْصُودُهُ بِالْإِذْنِ مُجَرَّدَ الْعَمَلِ عَلَى وَجْهِ الصِّحَّةِ دُونَ الصِّحَّةِ وَقَدْ وَجَدَ مِنَ الْوَكِيلِ ذَلِكَ الْعَمَلَ .

Bughyah al Mustarsyidin hal. 312

 (مسألة) : قال لآخر : بع هذا بمكان كذا ولك من ربحه الربع مثلاً ، فسدت الوكالة لفساد الصيغة بجهالة الجعل ، ونفذ تصرفه لعموم الإذن ، واستحق أجرة المثل ، ربح أم لا ، ولو وكله أن يبيع بمكان كذا ويشتري بثمنه كذا صح ، واستحق الجعل كاملاً بإتيانه بجميع ما أمر به من البيع والشراء ، فإن باع ولم يشتر ما أمر به فهل يستحق قسطه كالأجير إذا تعذر عليه بعض العمل أم لا ؟ كالجعل لا يستحق إلا بتمام العمل محل نظر ، نعم قد يؤيد الأوّل ما حكاه ابن حجر في فتأويه عن العمراني أنه لو استأجر أجيراً لحمل كتاب إلى آخر وردّ جوابه فأوصله ولم يرد جوابه فله من الأجرة بقدر ذهابه ، بل قال القاضي : لو وجد المكتوب إليه غائباً استحق القسط ولا عبرة بعرف يخالفه اهـ. ولا يلزم الوكيل فعل ما وكل فيه ، ولو بجعل ما لم تكن بلفظ الإجارة بشرطها ، ويجوز له عزل نفسه قبله وبعده وبعد الشراء ، وحينئذ يودعه أميناً ، ولا يجوز رد الثمن دراهم حيث لا قرينة ظاهرة تدل عليه لعدم الإذن ، بل يضمنها حتى يقبضها مالكها ، نعم إن علم أنه لو عزل نفسه في غيبة المالك استولى على المال جائر حرم العزل كالوصي بل لا ينفذ حينئذ.
Bujayrimi ‘alal Khotib lll, hal. 137.

وَيُشْتَرَطُ الْقَبُولُ لَفْظًا فِيمَا إذَا كَانَتْ الْوَكَالَةُ بِجُعْلٍ إنْ كَانَ الْإِيجَابُ بِصِيغَةِ الْعَقْدِ لَا الْأَمْرِ كَقَوْلِهِ : بِعْ هَذَا وَلَك دِرْهَمٌ , فَلَا يُشْتَرَطُ الْقَبُولُ وَكَانَ عَمَلُ الْوَكِيلِ مَضْبُوطًا لِأَنَّهَا إجَارَةٌ ا هـ

Bughyah al Mustarsyidin hal. 131

(مسألة: ي ك): الفرق بين الثمن والمثمن هو أنه حيث كان في أحد الطرفين نقد فهو الثمن والآخر المثمن، وإن كانا نقدين أو عرضين فالثمن ما دخلته الباء، وفائدة ذلك أن الثمن يجوز الاستبدال وهو الاعتياض عنه بخلاف المثمن، زاد ي: وشروط الاستبدال عشرة، كونه عن الثمن وأن لا يكون مسلماً فيه ولا ربوياً بيع بمثله، وأن يكون بعد لزوم العقد لا في مدة اختيار المجلس أو الشرط، وأن لا يكون البدل حالاً وبصيغة إيجاب وقبول صريحة كأبدلتك وعوّضتك، إو كناية كخذه، وأن يعين البدل في المجلس، وأن يقبضه إن اتفق هو والدين في علة الربا لا إن اختلفا كذهب بأرز، وأن تتحقق المماثلة في ربوي بجنسه كذهب بمثله، قاله (م ر) وهو الأحوط. وقال ابن حجر: لا يشترط وأن لا يزيد البدل على قيمة الدين يوم المطالبة ببلده إن وجب إتلاف أو قرض، فلو أخذ ربية فضة بمائة وستين دويداً مؤجلة، فإن كان بصيغة البيع صح وجاز الاستبدال عنه بهذه الشروط أو بصيغة القرض فلا.


b.    Dalam praktek wakalah bil ju’li maka yang wajib adalah pemilik barang. Dalam praktek bai’ bi-tsaman mu'ajjal yang wajib adalah pemilik toko.

Dasar Pengambilan Hukum
Al Umm II hal. 30

باب من تجب عليه الصدقة قال الشافعي رحمه الله تعالى : وتجب الصدقة على مالك تام الملك من الأحرار وإن كان صبيا أو معتوها أو إمرأة لا إفتراق في ذلك بينهم كما يجب في مال كل واحد ما لزم ماله بوجه من الوجوه جناية أو ميراث منه أو نفقة على والديه أو ولد زمن محتاج وسواء كان في الماشية والزرع والناض والتجارة وزكاة الفطر لايختلف.

Sumber
KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL PWNU JATIM TAHUN 1432H – 2011M
DI PP. AL-ROSYID BOJONEGORO


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Terima kasih pada FThemes.com | Converter: Blogger Themes & Blogger Templates
Flippa