Archive for Februari 2011

Distorsi Kitab Oleh Wahabi

Oleh: KH. Idrus Ramli
Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah. Di sini kita akan membicarakan fitnah Wahabi terhadap kitab-kitab para ulama dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.
Pada masa dahulu ada seorang ulama Mujassimah, yaitu Ibn Baththah al-’Ukbari, penulis kitab al-Ibanah, sebuah kitab hadits yang menjadi salah satu rujukan utama akidah Wahabi. Menurut al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, Ibn Baththah pernah ketahuan menggosok nama pemilik dan perawi salinan kitab Mu’jam al-Baghawi, dan diganti dengan namanya sendiri, sehingga terkesan bahwa Ibn Baththah telah meriwayatkan kitab tersebut. Bahkan al-Hafizh Ibn Asakir juga bercerita, bahwa ia pernah diperlihatkan oleh gurunya, Abu al-Qasim al-Samarqandi, sebagian salinan Mu’jam al-Baghawi yang digosok oleh Ibn Baththah dan diperbaiki dengan diganti namanya sendiri.
Belakangan Ibn Taimiyah al-Harrani, ideolog pertama aliran Wahabi, seringkali memalsu pendapat para ulama dalam kitab-kitabnya. Misalnya ia pernah menyatakan dalam kitabnya al-Furqan Bayna al-Haqq wa al-Bathil, bahwa al-Imam Fakhruddin al-Razi ragu-ragu terhadap madzhab al-Asy’ari di akhir hayatnya dan lebih condong ke madzhab Mujassimah, yang diikuti Ibn Taimiyah. Ternyata setelah dilihat dalam kitab Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah, karya Ibn al-Qayyim, murid Ibn Taimiyah, ia telah men-tahrif pernyataan al-Razi dalam kitabnya Aqsam al-Ladzdzat.
Tradisi tahrif ala Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang mereka warisi dari pendahulunya, kaum Mujassimah itu, juga berlangsung hingga dewasa ini dalam skala yang cukup signifikan. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 300 kitab yang isinya telah mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil orang-orang Wahabi.
  • Di antaranya adalah kitab al-Ibanah an Ushul al-Diyanah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan isi kitab al-Ibanah tersebut dengan al-Ibanah edisi terbitan Mesir yang di-tahqiq oleh Fauqiyah Husain Nashr.
  • Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan al-Ibanah. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah di-tahrif oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu’man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahabi. Menurut Syaikh Muhammad Nuri al-Daitsuri, seandainya tafsir Ruh al-Ma’ani ini tidak mengalami tahrif, tentu akan menjadi tafsir terbaik di zaman ini.
  • Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan Maktabah al-Ubaikan, Riyadh, Wahabi melakukan banyak tahrif terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang di-tahrif dan disesuaikan dengan ideologi Wahabi. Sehingga tafsir ini bukan lagi Tafsir al-Zamakhsyari, namun telah berubah menjadi tafsir Wahabi.
  • Hasyiyah al-Shawi 'ala Tafsir al-Jalalain yang populer dengan Tafsir al-Shawi, mengalami nasib serupa. Tafsir al-Shawi yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan Dar al-Fikr maupun Dar al-Kutub al-’Ilmiyah juga mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil Wahabi, yakni penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7.
  • Kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam madzhab Hanbali, juga tidak lepas dari tahrif mereka. Wahabi telah membuang bahasan tentang istighatsah dalam kitab tersebut, karena tidak sejalan dengan ideologi mereka.
  • Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah di-tahrif sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.
Demikianlah beberapa kitab yang telah ditahrif oleh orang-orang Wahabi. Tentu saja tulisan ini tidak mengupas berbagai cara tahrif dan perusakan Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal Jama’ah peninggalan para ulama kita. Namun setidaknya, yang sedikit ini menjadi pelajaran bagi kita agar selalu berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru. Wallahu a’lam.
Penulis: KH. Idrus Ramli
Pengurus Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS) Jember.

Menyewakan Menara Masjid Untuk Tower

Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim 2009 di PP. Al Usymuni Sumenep  
Indonesia adalah Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Karena itu, di mana-mana kita jumpai tempat ibadah umat Islam (masjid) dengan bentuk bangunannya yang bermacam-macam, ada yan g memakai menara, ada juga yang tak memakai menara. Terhadap masjid yang memiliki menara, ternyata menarik perhatian pada perusahaan khususnya telekomunikasi (Indosat,telkomsel,xl dll) untuk menyewa menara masjid untuk digunakan sebagai tower, karena dinilai lebih hemat daripada harus membuat tower sendiri. Pada sebagian takmir, hal ini disambut dengan baik, hingga mereka menyewakan menara masjidnya yang hasil sewaannya untuk keperluan kemashlahatan masjid. (PCNU KOTA MALANG)
Pertanyaan:
a. Bagaimana hukum menyewakan menara masjid sebagaimana dalam deskripsi di atas?
b. Bagaimana hukum menggunakan uang hasil sewaan menara masjid untuk kemashlahatan umum, seperti rumah sakit, jembatan menuju masjid, dll?
c. Sekiranya tidak boleh, bagaimana solusi yang terbaik terhadap uang yang terlanjur digunakan untuk keperluan kemashlahatan umum?
Jawaban a:
Hukum menyewakan menara masjid untuk pemasangan antena/tower tidak diperbolehkan, baik menara tersebut dibangun di atas bangunan masjid atau di luar, dengan alasan:
1. Manfaat barang wakaf bukan milik perorangan, sehingga siapa pun tidak bisa menyewakan/mu’awadlah yang lain.
2. Merusak kehormatan masjid, sebab antena/tower sebagai alat yang dapat digunakan apa saja, baik ibadah atau maksiat.
Dasar Keputusan:
البحر الرائق شرح كنز الدقائق ج 5 ص 252
(قَوْلُهُ وَمَنْ جَعَلَ مَسْجِدًا تَحْتَهُ سِرْدَابٌ أَوْ فَوْقَهُ بَيْتٌ وَجَعَلَ بَابَهُ إلَى الطَّرِيقِ وَعَزَلَهُ أَوْ اتَّخَذَ وَسَطَ دَارِهِ مَسْجِدًا وَأَذِنَ لِلنَّاسِ بِالدُّخُولِ فَلَهُ بَيْعُهُ وَيُورَثُ عَنْهُ) لِأَنَّهُ لَمْ يَخْلُصْ لِلَّهِ تَعَالَى لِبَقَاءِ حَقِّ الْعَبْدِ مُتَعَلِّقًا بِهِ وَالسِّرْدَابُ بَيْتٌ يُتَّخَذُ تَحْتَ الْأَرْضِ لِغَرَضِ تَبْرِيدِ الْمَاءِ وَغَيْرِهِ كَذَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ وَفِي الْمِصْبَاحِ السِّرْدَابُ الْمَكَانُ الضَّيِّقُ يُدْخَلُ فِيهِ وَالْجَمْعُ سَرَادِيبُ. ا هـ. وَحَاصِلُهُ أَنَّ شَرْطَ كَوْنِهِ مَسْجِدًا أَنْ يَكُونَ سُفْلُهُ وَعُلْوُهُ مَسْجِدًا لِيَنْقَطِعَ حَقُّ الْعَبْدِ عَنْهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ} بِخِلَافِ مَا إذَا كَانَ السِّرْدَابُ أَوْ الْعُلْوُ مَوْقُوفًا لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ إذْ لَا مِلْكَ فِيهِ لِأَحَدٍ بَلْ هُوَ مِنْ تَتْمِيمِ مَصَالِحِ الْمَسْجِدِ فَهُوَ كَسِرْدَابِ مَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ هَذَا هُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَهُنَاكَ رِوَايَاتٌ ضَعِيفَةٌ مَذْكُورَةٌ فِي الْهِدَايَةِ وَبِمَا ذَكَرْنَاهُ عُلِمَ أَنَّهُ لَوْ بَنَى بَيْتًا عَلَى سَطْحِ الْمَسْجِدِ لِسُكْنَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ فِي كَوْنِهِ مَسْجِدًا لِأَنَّهُ مِنْ الْمَصَالِحِ فَإِنْ قُلْتُ: لَوْ جَعَلَ مَسْجِدًا ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَبْنِيَ فَوْقَهُ بَيْتًا لِلْإِمَامِ أَوْ غَيْرِهِ هَلْ لَهُ ذَلِكَ قُلْتُ: قَالَ فِي التَّتَارْخَانِيَّة إذَا بَنَى مَسْجِدًا وَبَنَى غَرْفَةً وَهُوَ فِي يَدِهِ فَلَهُ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ حِينَ بَنَاهُ خَلَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ ثُمَّ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ يَبْنِي لَا يَتْرُكُهُ وَفِي جَامِعِ الْفَتْوَى إذَا قَالَ عَنَيْت ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يُصَدَّقُ. ا هـ. فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي الْوَاقِفِ فَكَيْفَ بِغَيْرِهِ فَمَنْ بَنَى بَيْتًا عَلَى جِدَارِ الْمَسْجِدِ وَجَبَ هَدْمُهُ وَلَا يَجُوزُ أَخْذُ الْأُجْرَةِ وَفِي الْبَزَّازِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ لِلْقَيِّمِ أَنْ يَجْعَلَ شَيْئًا مِنْ الْمَسْجِدِ مُسْتَغَلًّا وَلَا مَسْكَنًا
المجموع ج 6 ص 507
وقال المحاملي في المجموع للمنارة أربعة أحوال (إحداها) أن تكون مبنية داخل المسجد فيستحب الاذان فيها لانه طاعة (الثانية) أن تكون خارج المسجد الا أنها في رحبة المسجد فالحكم فيها كالحكم لو كانت في المسجد لان رحبة المسجد من المسجد ولو اعتكف فيها صح اعتكافه (الثالثة) أن تكون خارج المسجد وليست في رحبته إلا انها متصلة ببناء المسجد ولها باب إلى المسجد فله أن يؤذن فيها لانها متصلة بالمسجد ومن جملته (والرابعة) أن تكون خارج المسجد غير متصلة به ففيها الخلاف السابق هذا كلام المحاملى بحروفه وفيه فوائد وعبارة شيخه ابي حامد في التعليق نحو هذا وكلام غيرهما نحوه وفيه التصريح بخلاف ما استدل به إمام الحرمين في المنارة المتصل بابها بالمسجد كما قدمناه عنه قريبا ووعدنا بذكر التصريح بنقل خلافه والله أعلم
الموسوعة الفقهية الكويتية ج 5 ص 224
- اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمَسْجِدِ الَّذِي يَصِحُّ فِيهِ الاِعْتِكَافُ، مَا كَانَ بِنَاءً مُعَدًّا لِلصَّلاَةِ فِيهِ.
أَمَّا رَحْبَةُ الْمَسْجِدِ، وَهِيَ سَاحَتُهُ الَّتِي زِيدَتْ بِالْقُرْبِ مِنَ الْمَسْجِدِ لِتَوْسِعَتِهِ، وَكَانَتْ مُحَجَّرًا عَلَيْهَا، فَاَلَّذِي يُفْهَمُ مِنْ كَلاَمِ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ فِي الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَمُقَابِل الصَّحِيحِ عِنْدَهُمْ أَنَّهَا مِنَ الْمَسْجِدِ، وَجَمَعَ أَبُو يَعْلَى بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ بِأَنَّ الرَّحْبَةَ الْمَحُوطَةَ وَعَلَيْهَا بَابٌ هِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ. وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ رَحْبَةَ الْمَسْجِدِ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَلَوِ اعْتَكَفَ فِيهَا صَحَّ اعْتِكَافُهُ، وَأَمَّا سَطْحُ الْمَسْجِدِ فَقَدْ قَال ابْنُ قُدَامَةَ: يَجُوزُ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودُ سَطْحِ الْمَسْجِدِ، وَلاَ نَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا. أَمَّا الْمَنَارَةُ فَإِنْ كَانَتْ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ بَابِهَا فِيهِ فَهِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ .
تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج 14 ص 202
وَإِضَافَةُ الْمَنَارَةِ إلَى الْمَسْجِدِ لِلِاخْتِصَاصِ وَإِنْ لَمْ تُبْنَ لَهُ كَأَنْ خَرِبَ مَسْجِدٌ وَبَقِيَتْ مَنَارَتُهُ فَجُدِّدَ مَسْجِدٌ قَرِيبٌ مِنْهَا وَاعْتِيدَ الْأَذَانُ عَلَيْهَا لَهُ فَحُكْمُهَا حُكْمُ الْمَبْنِيَّةِ لَهُ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ وَقَوْلُ الْمَجْمُوعِ إنَّ صُورَةَ الْمَسْأَلَةِ فِي مَنَارَةٍ مَبْنِيَّةٍ لَهُ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ فَلَا مَفْهُومَ لَهُ شَرْحُ م ر
نهاية المحتاج ج 10 ص110
أما منارة المسجد التي بابها فيه أو في رحبته فلا يضر صعودها ولو لغير الأذان وإن خرجت عن سمت بناء المسجد كما رجحاه وتربيعه إذ هي في حكم المسجد كمنارة مبنية فيه مالت إلى الشارع فيصح الاعتكاف فيها ، وإن كان المعتكف في هواء الشارع، وأخذ الزركشي منه أنه لو اتخذ للمسجد جناح إلى الشارع فاعتكف فيه صح ؛ لأنه تابع له صحيح
Jawaban b:
Mempertimbangkan jawaban sub a, maka akad tersebut secara otomatis terhenti dengan sendirinya. Konsekwensinya adalah ongkos sewa yang telah diterima harus dikembalikan. Adapun masa sewa yang telah dijalani, maka dikembalikan pada konsep ujrah mitsil. Sedangkan pentasharrufan uang kompensasi tafwit manfaat (ujrah mitsil) adalah untuk kemashlahatan masjid bukan untuk kepentingan umum.
Jawaban c:
Untuk dana yang sudah terlanjur digunakan untuk keperluan kemashlahatan umum, maka pengurus tidak wajib bertanggungjawab kecuali dia bertindak ceroboh/tidak prosedural.
Dasar Keputusan:
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ج 1 ص 360
(مسألة: ب): وظيفة الولي فيما تولى فيه حفظه وتعهده والتصرف فيه بالغبطة والمصلحة وصرفه في مصارفه هذا من حيث الإجمال، وأما من حيث التفصيل فقد يختلف الحكم في بعض فروع مسائل الأولياء، وحينئذ فإذا أعطى جندي مثلاً وليّ المسجد مالاً للمسجد ملكه إياه فرده، فإن عد مقصراً برد المال بأن لم يكن ثم موجب لرده أثم ولزمه طلبه، فإن أنكره الجندي لزمه طلب يمين الإنكار إن لم يلحقه ضرر بطلبها لعله يقرّ ويرد ما أخذه أو بعضه، وتجوز بل تجب عليه المعاوضة في ملك المسجد إن رأى المصلحة، كأن كانت أرض المسجد لا تحرث أو تحرث نادراً، فرغب فيها شخص بأرض تحرث دائماً، ويكون بصيغة المعاوضة أولى فيكتب في الصيغة: أما بعد فقد صار الزبر الفلاني المحدد بكذا لمسجد كذا من فلان بالمعاوضة الشرعية المستكملة للشروط والأركان، فصار الزبر المذكور ملكاً من أملاك المسجد قطعاً قلاطاً، وتعوض فلان المذكور في مقابلة ذلك ما هو ملك المسجد المذكور وهو الزبر الفلاني بحدوده الأربعة على لسان القيم والوالي شرعاً على المسجد المذكور فلان بن فلان وذلك بعد ظهور الغبطة والمصلحة، وله أن يقاسم عن المسجد كسائر التصرفات.
إسعاد الرفيق ج : 2 ص : 143
(أو تبعة لادمى) منة غير ذلك فيشترط في صحتها منه مع ما مر اسقاط ذلك الحق فان كان مالا (قضاه) أى رده ان بقي والا فبدله لمالكه أو نائبه أو لوارثه بعد موته. فان لم يكن له وارث أو انقطع خبره دفعه للإمام ليجعله في بيت المال أو الى الحاكم المأذون له في التصرف في مال المصالح , فان تعذر قال العبادى والغزالى تصدف به عنه بنية العزم , والحق الرافعي بالصدقة سائر وجوه المصالح فان لم يوجد قاض بشرطه صرفه الأمين بنفسه في مال المصالح.
شرح البهجة ج 3 ص 252
(بل غيرهما) أي: غير البضع والحر مما له منفعة تؤجر (فبالفوات) تضمن منفعته كما تضمن بالتفويت; لأنها مضمونة بالعقد الفاسد فتضمن بالغصب كالأعيان, فلو غصب عبدا, أو ما يقصد للشم كمسك وأمسكه مدة لزمه أجرته, فلو كان العبد يحسن صناعات لزمه أجرة أعلاها أجرة لا أجرة الكل, أما ما لا تؤجر منفعته كمسجد وشارع ومقبرة وعرفة فتضمن بالتفويت لا بالفوات (قوله: كمسجد) قال في العباب: ومن شغل بعض المسجد بمتاع فإن أغلقه وجب أجرة كل المسجد, وإلا فموضع المتاع فقط, ومصرفها مصالح المسجد ا هـ وقوله: ومصرفها مصالح المسجد نقله في تجريده عن المتولي والغزالي والنووي في فتاويهما ثم قال: وأفتى ابن رزين بأنها لمصالح المسلمين, ويمكن رد الأول إليه; لأنه: من مصالحهم, والخلاف راجع إلى أن وقف المسجد ونحوه من باب التحرير وكالعتق, وهو قول الإمام والغزالي, أو المسلمون يملكون منفعته, وهو اختيار جماعة, وينبغي أن نحو الرباط والمقبرة كالمسجد, وأن نحو الشارع وعرفة تصرف أجرته لمصالح المسلمين إلا أن يحتاجها في مصالحه فليتأمل
نهاية المحتاج ج : 5 ص : 171
ومنفعة المسجد والمدرسة والرباط كمنفعة الحر فلو وضع فيه متاعا واغلقه ضمن اجرة جميعه تصرف لمصالحه وان لم يغلقه ضمن أجرة موضع متاعه فقط وان ابيح له وضعه او لم يحصل به تضييق على المصلين او كان مهجورا لا يصلى احد فيه على ما اقتضاه اطلاقهم وكذا الشواريع ومنى ومزدلفة وعرفة وارض وقفت لدفن الموتى كما فى التتمة . أما اغلاقه من غير وضع متاع فيه ومنع الناس من الصلاة فيه فلا ضمان عليه فيه لانه لا تثبت عليه يد ومثله فى ذلك البقعة , هذ . والاوجه تقييد ما ذكر في نحو المسجد بما اذا شغله بمتاع لا يعتاد الجالس فيه وضعه فيه ولا مصلحة للمسجد فى وضعه فيه زمنا لمثله اجرة بخلاف متاع يحتاج نحو المصلى او المعتكف لوضعه اهـ
إحياء علوم الدين ج : 2 ص : 129 – 130
النظر الثاني في المصرف
فإذا أخرج الحرام فله ثلاثة أحوال إما أن يكون له مالك معين فيجب الصرف إليه أو إلى وارثه وان كان غائبا فينتظر حضوره أو الإيصال إليه وإن كانت له زيادة و منفعة فلتجمع فوائده إلى وقت حضوره وإما أن يكون لمالك غير معين وقع اليأس من الوقوف على عيبه ولا يدري أنه مات عن وارث أم لا فهذا لا يمكن الرد فيه للمالك ويوقف حتى يتضح الأمر فيه وربما لا يمكن الرد لكثرة الملاك كغلول الغنيمة فإنها بعد تفرق الغزاة كيف يقدر على جمعهم وان قدر فكيف يفرق دينارا واحدا مثلا على ألف أو ألفين فهذا ينبغي أن يتصدق به .......
فإن قيل: ما دليل جواز التصدق بما هو حرام؟ وكيف يتصدق بما لا يملك؟ وقد ذهب جماعة إلى أن ذلك غير جائز لانه حرام وحكى عن الفضيل انه وقع في يده درهمان فلما علم أنهما من غير وجههما رماهما بين الحجارة وقال لا أتصدق إلا بالطيب ولا أرضى لغيري ما لا أرضاه لنفسي.

NU Jember Dukung Pembubaran Ahmadiyah

Jember, NU Online
Rekomendasi Forum ulama se-Jawa dan Madura yang mengusulkan pembubaran Ahmadiyah dalam pertemuan di Pondok Pesantren Sidogiri, belum lama ini mendapat dukungan dari NU Jember. Pasalnya, ajaran Ahmadiyah dinilai sesat dan menyesatkan.

Menurut Sekretaris PCNU Jember  Misbahussalam, ajaran Ahmadiyah, khususnya soal pengakuan terhadap kerasulan Mirza Ghulam Ahmad, jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. “Prinsipnya tauhid adalah mengakui adanya Allah dan rasul-Nya. Kalau sudah  tidak percaya Nabi Muhammad atau mengakui adanya nabi lain, itu jelas sesat. Tidak usah dibahas,” kata Misbah di sela-sela rapat koordinasi pengurus NU Jember, Sabtu (12/2).

Misbah menambahkan, pemerintah harus segear merespon suara ulama tentang pembubaran Ahmadiyah. Jika tidak, dikhawatirkan umat Islam akan semakin marah.

"Semua kalangan ulama menstigma Ahmadiyah sebagai agama yang sesat. Selain itu, Ahmadiyah juga dinilai merendahkan martabat Nabi Muhammad karena disamakan dengan manusia biasa yang bernama Mirza Ghulam Ahmad," tutur Misbah.

Kendati demikian, alumni Universitas Darul Ulum, Jombang itu menyatakan tidak setuju kepada tindak kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah. Sebab, sebagai warga negara yang baik, anggota berhak dilindungi dan hidup aman, tapi juga tidak berhak menghina ajaran Islam, terutama soal kenabinan Muhammad SAW.

"Karena itu, pemerintah harus tanggap dengan keresahan umat Islam terkait Ahmadiyah. Jangan sampai umat Islam bertindak duluan,” urainya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Cabang (PC) Nahdlatul Ulama (NU) Sumenep, Panji Taufik, sepakat jika Ahmadiyah dibubarkan. "Ya tapi pembubarannya tentu saja tidak dengan cara menyimpang dan melanggar aturan. Tetap harus mengikuti kaidah yang ada," tandas Panji. (ary)
--------------------
Disadur dari NU Online, http://www.nu.or.id/page.php

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Terima kasih pada FThemes.com | Converter: Blogger Themes & Blogger Templates
Flippa