Terjemah Dan Syarh Aqidah Al-‘Awam
Bab I
Ilmu Tauhid dan Dasar-Dasarnya
Pengertian Ilmu Tauhid
Pengertian Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah:
علم التوحيد علم يُقتدَر به على إثبات العقائد الدينية من أدلتها اليقينية. (تحفة المريد : 38)
“Suatu ilmu yang karenanya ada kemampuan untuk mengokohkan ‘aqidah-‘aqidah agama dengan dalil-dalilnya yang pasti”.
Ilmu tauhid adalah ilmu yang sangat penting bagi setiap Muslim. Karena bahasan ilmu tauhid ini menyangkut akidah Islam. Sedangkan akidah dalam Islam merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang dan benteng yang kokoh untuk memelihara akidah Muslim dari setiap ancaman keraguan dan kesesatan.
Kita seringkali mendengar terjadinya berbagai penyimpangan dalam berpikir, berkata dan bertindak. Hal itu terjadi karena jauhnya pemahaman yang benar terhadap dasar-dasar akidah Islam dan masalah-masalah keimanan.
Prinsip-prinsip akidah dalam Islam dan masalah-masalah keimanan adalah ajaran yang dibawa oleh para rasul sejak dulu. Hal tersebut harus diyakini oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ. (الأنبياء : 25).
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS. al-Anbiya' : 25).
Telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal saleh yang dilakukan oleh seseorang dengan penuh ketulusan hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila didasari dengan akidah Islam yang benar yang menjadi bahasan ilmu tauhid ini. Karena penyimpangan dari akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni kepada Allah SWT. Dan penyimpangan dari keimanan berarti bentuk kekufuran kepada Allah SWT. Sedangkan Allah SWT tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang kafir, berapa pun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأُولئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ. (البقرة : 217).
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. al-Baqarah : 217).
Pengertian ASWAJA
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Ada tiga kata yang membentuk kata tersebut.
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, maksudnya, semua yang datang dari Nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245).
3. al-Jama'ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar RA, Umar bin al-Khatthab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA).
Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ. (رواه الترمذي (2091) والحاكم (1/77-78) وصححه ووافقه الحافظ الذهبي).
"Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama'ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)". (H.R al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، 1/80).
"Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada mereka semua)." (Al- Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal.80).
Lebih jelas lagi, Hadlratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (1287- 1336 H / 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta'liqat (hal, 23-24) sebagai berikut :
أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَالْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمُ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ. قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتِ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الْحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ.
"Adapun Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahi fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hanbali."
Dari defenisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Hukum Akal ('Aqli)
Apabila kita menerima sesuatu keterangan, maka akal kita tentu akan menerima dengan salah satu pendapat atau keputusan hukum sebagaimana di bawah ini:
a. Membenarkan dan mempercayainya
b. Mengingkari dan tidak mempercayainya
c. Memungkinkan, artinya boleh jadi dan boleh tidak jadi
Putusan akal atau hukum akal yang pertama itu disebut wajib: واجب عقلي (wajib 'aqli), yang kedua disebut: مستحيل عقلي (mustahil atau muhal), dan yang ketiga disebut: جائز عقلي (jaiz atau mungkin) (mungkin jadi dan mungkin tidak)
Berikut ini contoh-contoh hukum akal:
1. Wajib menurut akal (pasti)
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa:
a. 2 X 2 = 4
b. Satu itu sama dengan sepertiga dari tiga
c. Segala benda itu apabila tidak bergerak tentu diam, dan apabila tidak diam tentu begerak.
d. Seperempat kali seperempat sama dengan seperenam belas.
maka semua pendapat itu tentu akan diterima akal yang sehat. Dengan membenarkan dan mempercayainya dan itu namanya keterangan yang wajib diterima oleh akal (wajib 'aqli).
2. Muhal menurut akal (tidak mungkin)
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa:
a. 2 X 2 = 5
b. Ada benda yang pada suatu waktu tidak diam dan tidak bergerak
c. Seperempat kali seperempat sama dengan seperdua kali tiga perempat
Maka semua pendapat itu tentu akan ditolak oleh akal yang sehat, tidak dapat dibenarkan dan tidak akan dapat dipercayainya, dan itu namanya hal-hal yang muhal atau mustahil.
3. Jaiz (mungkin)
Apabila ada orang berkata bahwa:
a. Si Fulan nanti akan mempunyai seorang anak.
b. Rumah ini akan rusak pada tahun ini.
Maka semua keterangan itu tidak akan ditolak sama sekali oleh akal, dan tidak pula akan dipastikan kebenarannya dan dipercayai. Hal itu mungkin terjadi, dan mungkin pula tidak akan terjadi. Yang sedemikian itu namanya hal-hal yang mungkin atau jaiz.
Hukum Kebiasaan, Bukan Hukum Akal
Banyak orang yang telah biasa melihat api dapat membakar kertas. Jika orang berpegang teguh pada kebiasaan yang telah diketahui berulang-ulang itu, maka ditetapkan undang-undang bahwa tiap-tiap api itu mesti dapat membakar segala macam kertas. Dan apabila dikatakan sebaliknya, ia mengatakan muhal atau mustahil, atau ia heran dan tidak mau percaya.
Perbedaannya:
Dalam kejadian semisal di atas, arti mesti dan muhal tidaklah sama dengan arti mesti atau muhal pada akal. Itu hanyalah kepastian dari kebiasaan. Adapun menurut pendapat akal, kejadian itu masih harus disebut hal yang mungkin saja terjadi, dan mungkin dengan mengetahui beberapa sebab dan musabab atau akibat, akan berubahlah kepastian tersebut.
Maka dari itu, jelas bahwa hukum kebiasaan tidak sama dengan hukum akal.
Demikianlah, segala pengetahuan manusia tentang kebiasaan alam yang sering disebut dengan hukum alam itu, masih harus disebut "hal yang mungkin", menurut pendapat akal, karena keputusan atau kebiasaan itu, terdapat hanya dari memperhatikan kejadian-kejadian yang berulang-ulang saja.
Menurut akal, masih ditanyakan apakah yang menyebabkan adanya tabiat? Apakah yang menyebabkan api dapat membakar? Dan apakah yang menyebabkan air mengalir ke tempat yang rendah? Dan apa yang menyebabkan tiap-tiap zat mempunyai sifat dan tabiat yang berlainan? Demikian seterusnya.
Alam, Tabiat Dan Hukumnya.
Alam seisinya disebut hawadits. Segala sesuatu yang dahulunya tidak ada kemudian ada, kemudian tidak ada lagi, atau segala sesuatu yang dahulunya bergerak, kemudian diam, maka benda yang serupa itu namanya barang yang mungkin belaka, dan juga dinamakan barang baru atau "hawadits", artinya barang yang dahulunya tidak ada. Dengan berubahnya sifat, dari tidak ada menjadi ada, dari diam menjadi bergerak, maka akal dapat memutuskan dengan pendapatnya, bahwa sesuatu itu adalah barang yang mungkin belaka, bukan barang wajib atau mustahil. Jika dikatakan wajib, tentu akan terus keadaannya. Dan jika dikatakan mustahil, tentu tidak akan pernah terjadi.
Demikianlah segala alam seisinya ini, ternyata sebagai hawadits. Barang baru, yang dahulunya tidak ada dan senantiasa berubah-ubah. Dan semua hawadits, atau barang yang mungkin itu, tidak akan terjadi dan berubah dengan tanpa sebab yang menyebabkan.
[Bersambung] ke bag. 2
Demikianlah segala alam seisinya ini, ternyata sebagai hawadits. Barang baru, yang dahulunya tidak ada dan senantiasa berubah-ubah. Dan semua hawadits, atau barang yang mungkin itu, tidak akan terjadi dan berubah dengan tanpa sebab yang menyebabkan.
[Bersambung] ke bag. 2