Archive for Februari 2015

MEMILIH HARI PERNIKAHAN DENGAN PRIMBON




Moderator
Perumus
Mushahih
Notulen
Ust. Baidlowi
01. K. Ulin Nuha Rozy
02. K. Turmudzi
03. K. Afifuddin Khoir

01. K Abdul Aziz
02. KH Ahmad Romlan

01.Muhammad Sholeh
02.Agus Thohir

1.        Memilih Hari Pernikahan Dengan Primbon (Pon Pes Ma’rifatul Ulum, Bringin)
Deskripsi Masalah
Nikah adalah acara yang sakral, dengan nikah hal yang awalnya haram menjadi halal. Aqad nikah yang dilakukan didepan wali dan saksi-saksi berlaku tanpa batas waktu sampai ada hal yang menyebabkan aqad itu gugur, karena nikah terkait dengan kehidupan rumah tangga kedepan dalam waktu yang tak terbatas, maka sebagaian masyarakat menentukan waktu pelaksanaan aqad nikah dengan memilih tanggal, hari, atau bulan tertentu dengan metode perhitungan dari warisan leluhur (primbon), tidak hanya acara pernikahan saja, ada sebagian masyarakat disaat mendirikan rumah, membeli hewan, perdagangan dan lain sebagainya mereka juga memilih tanggal, hari, atau bulan tertentu, agar kelak memberi dampak bagus, selalu tentram dan penuh kebaikan bagi kesehatan dan perekonomian mereka.
Pertanyaan:
a.         Bagaimana hukum memilih hari untuk pernikahan dan lain sebagianya ?
b.        Apakah menikah dibulan tertentu (selo,suro) itu terlarang?


Jawaban A :
Islam tidak mengajarkan tentang berpegang pada waktu tertentu entah itu jam, hari, bulan, atau pasaran (Pon, Wage, dll.) untuk memulai sesuatu yang baik. Islam mengajarkan agar membaca Basmalah dalam riwayat lain Alhamdulillah untuk memulai pekerjaan yang baik kapanpun itu. Dalam sebuah hadits yang statusnya hasan disebutkan:
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله فهو أقطع-- رواه ابن حبان
Artinya: “Setiap perbuatan baik yang tidak diawali dengan bismillah adalah terputus”. (HR. Ibn Hibban) [1]
Dalam ajaran membaca basmalah ini terkandung maksud untuk selalu menggantungkan semuanya kepada Allah dan bahwa sesuatu terjadi hanya dengan seizin-Nya. Untuk itu kita harus selalu husnudz-dzon (berbaik sangka) kepada Allah SWT. Prasangka kita terhadap Allah akan kembali pada diri kita sendiri, begitulah yang disebutkan dalam salah satu hadits qudsi.
Dalam khazanah keilmuan pesantren ada sebuah kitab Astrologi (ilmu perbintangan) yang ditulis oleh Ilmuwan muslim pada zaman Abbasiyah, Abu Ma’syar Al-Falaki. Beliau adalah murid Al-Kindi. Kitab yang beliau tulis berjudul seperti nama penulisnya sendiri, Abu Ma’syar Al-Falaki. Dulu, kitab tersebut banyak beredar di pesantren-pesantren salaf. Dalam kitab tersebut dijelaskan waktu-waktu tertentu, watak manusia yang lahir di waktu tertentu (seperti layaknya zodiak), dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya silahkan rujuk kitab tersebut.
Selanjutnya, yang terpenting bukan masalah ada dan tidaknya kitab seperti itu, melainkan bagaimana kita menyikapi data-data yang disebutkan oleh penulis kitab yang dimaksud agar kita tetap berada pada jalan yang benar dalam keimanan. Kitab Astrologi seperti itu hanya boleh dijadikan sebagai data sementara untuk kita melakukan sesuatu, sedangkan hasil yang akan terjadi tetap kita serahkan pada Allah SWT, karena Allah SWT yang mempengaruhi segalanya. Jika kita menyikapi begitu, sebagian ulama memperbolehkan. Ini bisa kita lihat dalam Fatwa Ibnu Ziyad :
مسألة: إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات
Artinya: Jika seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Ibnul Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafii bahwa jika ahli astrologi berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi demikian di hari demikian sedangkan yang mempengaruhi adalah Allah. Maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk (bukan Allah)”. [2]

Jawaban B:
Dalam syari’at Islam, sebenarnya tidak ada larangan menikah di bulan tertentu. Ini dapat kita lihat dalam riwayat tentang pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti ’Aisyah. Pada saat itu, orang-orang menganggap makruh/mendatangkan kesialan jika menikah di bulan Syawal. Untuk menepis kepercayaan mereka Rasulullah SAW menikahi Siti ’Aisyah di bulan Syawwal. Ketika mengomentari hadits yang menerangkan peristiwa tersebut Imam Nawawi menjelaskan :
وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ والرفع
Artinya : “Siti Aisyah r.a dengan perkataan ini, bermaksud menjawab apa yang terjadi pada masa jahiliyah dan apa yang dibayangkan sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan syawa., ini sebuah kebatilan yang tidak memiliki dasar. Ini adalah peninggalan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawwal yang diambil dari Isyalah dan Raf̕’I (mengangkat)”. [3]
Walaupun demikian, orang yang tidak mau melangsungkan pernikahan di bulan tertentu dan memilih waktu yang menurutnya tepat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku tidaklah sepenuhnya salah. Selama keyakinannya tentang yang memberi pengaruh baik atau buruk adalah Allah SWT. dan hari, tanggal dan bulan tertentu itu diperlakukan sebagai adat kebiasaan yang diketahui oleh manusia melalui kejadian-kejadian yang berulang(dalam bahasa jawa disebut ilmu titen) yang semuanya itu sebenarnya dijalankan oleh Allah SWT maka sebagian ulama memperbolehkan. Dalam hal ini Ibnu Ziyad berkat :
مسألة : إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات،
Artinya : (permasalahan) Jika seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Ibnul Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafii bahwa jika ahli nujum berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi dmeikian di hari demikian sedangkan yang mempengaruhi adalah Allah, maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk”. [4]
Kesimpulannya adalah kita harus tetap berkeyakinan bahwa yang menentukan semuanya adalah Allah SWT., sedangkan fenomena-fenomena yang terjadi berulang-ulang yang kemudian menjadi kebiasaan hanyalah data sementara bagi kita untuk menentukan langkah yang harus diambil, dalam hal ini menentukan waktu pernikahan.
Dasar Pengambilan :
تفسير حقي - (5 / 46)
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (37)
« لا تسافروا فى محاق الشهر ولا اذا كان القمر فى العقرب » وكان على يكره التزوج والسفر اذا نزل القمر فى العقرب وهو اسناد صحيح قال حضرة الشيخ الشهير بافتاده افندى ان نحوسة الايام قد ارتفعت على المؤمنين بشرف نبينا عليه السلام واما ما نقل عن على من انه عد سبعة ايام فى كل شهر نحسا فعلى تقدير صحة النقل محمول على نحوسة النفس والطبيعة فليست السعادة والشقاوة الا لسعادتهما وشقاوتهما فاذا خلصتا من الشقاوة لم يبق نحوسة انتهى قال فى عقد الدرر واللآلى وكثير من الجهال يتشاءم من صفر وربما ينهى عن السفر والتشاؤم بصفر هو من جنس الطيرة المنهى عنها وكذا التشاؤم بيوم من الايام كيوم الاربعاء وايام العجائز فى آخر الشتاء وكذا شتاؤم اهل الجاهلية بشوال فى النكاح فيه خاصة . وقد قيل ان طاعونا وقع فى شوال فى سنة من السنين فمات فيه كثير من العرائس فتشاءم بذلك اهل الجاهلية وقد ورد الشرع بابطاله قالت عائشة رضى الله عنها تزوجنى رسول الله فى شوال وبنى بى فى شوال فاى نسائه كان احظى عنده منى فتخصيص الشؤم بزمان دون زمان كصفر او غيره غير صحيح وانما الزمان كله خلق الله تعالى وفيه تقع اعمال بنى آدم فكل زمان اشتغل فيه المؤمن بطاعة الله فهو زمان مبارك وكل زمان اشتغل فيه بمعصية الله فهو مشئوم عليه فالشؤم فى الحقيقة هو المعصية كما قال ابن مسعود رضى الله عنه ان كان الشؤم فى شيء ففيما بين اللحيين يعنى اللسان وفى الحديث « الشؤم فى ثلاث فى المرأة والدار والفرس »



[1]  Ibnu Majjah,Sunan Ibnu Majjah, al Maktabah Al syamilah, tt, juz 1, h 610. Abu Dawud, Sunan Abu dawud, al Maktabah Al syamilah, tt, juz 4, h 409.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu hibban, al Maktabah Al syamilah, tt, juz 1, h 173. Imam al Nawawi, al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 73.
[2]  Ibnu Ziyad, Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, tt, h 206.
[3]  al Imam al Nawawi, Syarh al Nawawi Ala Muslim, al Maktabah al Syamilah, tt, juz 9, h 209.
[4]  Ibnu Ziyad, Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, tt, h 206.

PENGADAAN TANAH WAKAF DENGAN SISTIM WAKAF TUNAI



KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA KAB. NGAWI KE IV
Di Pon. Pes. Ma’rifatul Ulum Dsn. Winong Ds. Krompol Kec. Bringin Kab Ngawi
Ahad Legi, 28 Desember 2014 (Waqi’iyyah)

JALSAH ULA
Moderator
Perumus
Mushahih
Notulen
K. Muwahidul Wahab
01. K. Ulin Nuha Rozy
02. K. Turmudzi
03. K. Afifuddin Khoir

01. K Abdul Aziz
02. KH Ahmad Romlan

01.Muhammad Sholeh
02.Agus Thohir

1.        Pengadaan Tanah Wakaf (Pon Pes Darul Muhklisin, Mantingan)
Deskripsi Masalah
Di sebuah perkampungan dibentuk panitia pengadaan tanah, pembangunan masjid, madrasah dan sarana lain sesuai kebutuhan kampung tersebut. Dikarenakan kebutuhan akan tanah belum mencukupi target kuota perencanaan, maka panitia berinisiatif menggali dana kepada para donatur yang sifatnya tidak mengikat dengan cara wakaf tunai. Untuk kelengkapan penggalian dana, panitia menyiapkan brosur, kwitansi dan syahadah sebagai rasa terima kasih. Setelah dana diperoleh dari para donatur, panitia mengalokasikan dana untuk membeli tanah, pembangunan, biaya operasional program,dan bisyaroh untuk petugas khusus serta untuk panitia pelaksana.
Pertanyaan:
a.    Apakah dana tersebut bisa dikatakan wakaf?
b.    Bagaimana hukumnya panitia mengunakan sebagian dari dana tersebut untuk biaya cetak logistik atau biaya operasional program?
c.    Bagaimana hukumnya mengambil sebagian dana tersebut untuk bisyaroh dengan jumlah yang ditentukan kepada petugas khusus dan panitia pelaksana?  


Jawaban A :
Sebelum bicara pada pokok permasalahan, sebaiknya kita kaji dulu status wakaf uang dalam pandangan fiqh. Pada dasarnya pengertian wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaaatnya dengan tetap kekalnya dzat harta itu sendiri dan  mantasharufkan kemanfaatannya di jalan kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. Konsekwensi dari hal ini adalah dzat harta-benda yang diwakafkan tidak boleh ditasharrufkan. Sebab yang ditasharrufkan adalah manfaatnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh penulis kitab Kifayah al-Akhyar[1] sebagai berikut :
وَحَدُّهُ فِي الشَّرْعِ حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الْإِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي عَيْنِهِ وَتَصَرُّفُ مَنَافِعِهِ فِي الْبِرِّ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ - تقي الدين أبي بكر بن محمد الحسيني الحصني الدمشقي الشافعي، كفاية الأخيار فى حل غاية الإختصار، سورابايا-دار العلم، ج، 1، ص. 256
“Definisi wakaf menurut syara’ adalah menahan harta-benda yang memungkinkan untuk mengambil manfaatnya beserta kekalnya dzat harta-benda itu sendiri, dilarang untuk mentasaharrufkan dzatnya. Sedangkan mentasharrufkan kemanfaatannya itu dalam hal kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt”.

Persoalannya apakah dana tersebut bisa dikatakan wakaf ? Dalam masalah ini setidaknya para ulama terbelah menjadi dua pendapat :
1.        Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf uang (waqf an-nuqud) secara mutlak tidak diperbolehkan. Dalam konteks ini Syaikh Nizham berkata :
وَأَمَّا وَقْفُ مَا لَا يُنْتَفَعُ بِهِ إلَّا بِالْإِتْلَافِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ ، وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ  -الشيخ نظام وجماعة من علماء الهند، الفتاوى الهندية، بيروت-دار الفكر، ج، 2، ص. 362
Artinya :“Adapun wakaf sesuatu yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali dengan melenyapkannya seperti emas, perak, makanan, dan minuman maka tidak boleh menurut mayoritas fuqaha. Yang dimaksud dengan emas dan perak adalah dinar dan dirham dan yang bukan dijadikan perhiasan” [2].

2.        Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf uang diperbolehkan :
Ø Pendapat Imam al-Zuhri (w.124 II.) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih.[3]
Ø Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi membolehkan wakaf dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud ra :
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk.” [4]
Ø Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i :
a.    Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang).” [5]
b.    Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, menyatakan, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar, membolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya, tidak memperbolehkan mewakafnya“. [6]
Ø Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 : Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh).
Ø UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pasal 16.
Membolehkan wakaf harta bergerak maupun harta tak bergerak. Kategori yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut antara lain:
a.    Benda Tidak bergerak, meliputi (a) hak atas tanah, (b) bangunan/bagian bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, (c) tanaman/benda lain yang berkaitan dengan tanah, (d) hak milik atas satuan rumah susun, (e) benda tidak bergerak sesuai syariah dan UU.
b.    Benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan hak atas kekayaan intelektual, ]hak sewa dan benda bergerak sesuai syariah dan UU, termasuk mushaf, buku dan kitab.

Dengan mengacu pendapat Ibnu Syihab az-Zuhri seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan pendapat Imam Syafi’i seperti diriwayatkan oleh Abu Tsaur, bisa dijadikan legalitas yang valid bagi kebolehan wakaf uang, di samping ada beberapa argumen lain, yaitu dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal investasi seperti mudhorobah, murobahah, ijaroh, musyarokah dan investasi lainya, dengan cara menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan keuntungan dari pengelolaannya disalurkan kepada mauquf ‘alaih atau pihak yang menerima manfaat dari harta wakaf.

Selanjutnya, dengan memahami ketentuan dan teknis wakaf uang dari penjelasan diatas dapat difahami, bahwa wakaf tunai yang dijalankan oleh panitia tidak sesuai dengan aturan wakaf tunai menurut pandangan fiqh, dikarenakan uang tersebut yang seharusnya digunakan untuk investasi atau modal usaha namun digunakan untuk membeli tanah, sehingga manfaat nilai uang tersebut tidak terpelihara kekekalanya. [7]

Solusinya, pelaksanaan program pengadaan tanah wakaf dan pembangunan, sebaiknya  panitia harus mengambil langkah yang sesuai dengan pandangan fiqh, yaitu penggalian dana melalui donatur dalam bentuk INFAQ yang tasarufnya untuk pengadaan tanah dan pembangunan dan nota atau kwitansi yang digunakan bukti serah terima uang harus diganti dengan infaq tunai bukan wakaf tunai. [8]

Dasar Pengambilan :

v      رسالة فى جواز وفق النقود، ابو سعود محمد بن محمد مصطفى العمادي الأفندي الحنفي، بيروت-دار ابن حزم، الطبعة الأولى، 1417هـ/1997م، ص. 20-21(
وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ وَهَلْ لِلرَّجُلِ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ رِبْحِ تِلْكَ الْأَلَفِ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ جَعَلَ رِبْحَهَا صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ قَالَ لَيْسَ لَهُ اَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا-  
v      الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 10 / ص 300)
وقف المنقول: اتفق الجمهور غير الحنفية على جواز وقف المنقول مطلقاً، كآلات المسجد كالقنديل والحصير، وأنواع السلاح والثياب والأثاث، سواء أكان الموقوف مستقلاً بذاته، ورد به النص أو جرى به العرف، أم تبعاً لغيره من العقار، إذ لم يشترطوا التأبيد لصحة الوقف، فيصح كونه مؤبداً أو مؤقتاً، خيرياً أو أهلياً. وأخذ القانون المصري (م 8) بهذا الرأي، فأجاز وقف العقار والمنقول. ولم يجز الحنفية وقف المنقول ومنه عندهم البناء والغراس إلا إذا كان تبعاً للعقار، أو ورد به النص كالسلاح والخيل، أو جرى به العرف كوقف الكتب والمصاحف والفأس والقدوم والقدور (الأواني) وأدوات الجنازة وثيابها، والدنانير والدراهم، والمكيل والموزون، والسفينة بالمتاع، لتعامل الناس به، والتعامل ـ وهو الأكثر استعمالاً ـ يترك به القياس، لخبر ابن مسعود: «ما رآه المسلمون حسناً، فهو عند الله حسن» ولأن الثابت بالعرف ثابت بالنص، هذا مع العلم أن وقف البناء صار متعارفاً، بخلاف ما لا تعامل فيه كثياب ومتاع، وهذا قول محمد، المفتى به. ويباع المكيل والموزون ويدفع ثمنه مضاربة أو مباضعة، كما يفعل في وقف النقود، وما خرج من الربح يتصدق به في جهة الوقف. لكن قال ابن عابدين : وقف الدراهم متعارف في بلاد الروم دون بلادنا، ووقف الفأس والقدوم كان متعارفاً في زمن المتقدمين، ولم نسمع به في زماننا، فالظاهر أنه لا يصح الآن، ولئن وجدنا قليلاً لا يعتبر، لأن التعامل هو الأكثر استعمالاً. والسبب في عدم جواز وقف المنقول عندهم: أن من شرط الوقف التأبيد، والمنقول لا يدوم.
v      رد المحتار - (ج 17 / ص 248) 
( قَوْلُهُ : بَلْ وَدَرَاهِمُ وَدَنَانِيرُ ) عَزَاهُ فِي الْخُلَاصَةِ إلَى الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ زُفَرَ ، وَعَزَاهُ فِي الْخَانِيَّةِ إلَى زُفَرَ حَيْثُ قَالَ : وَعَنْ زُفَرَ شُرُنْبُلَالِيَّةٌ وَقَالَ الْمُصَنِّفُ فِي الْمَنْحِ : وَلَمَّا جَرَى التَّعَامُلُ فِي زَمَانِنَا فِي الْبِلَادِ الرُّومِيَّةِ وَغَيْرِهَا فِي وَقْفِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ دَخَلَتْ تَحْتَ قَوْلِ مُحَمَّدٍ الْمُفْتَى بِهِ فِي وَقْفِ كُلِّ مَنْقُولٍ فِيهِ تَعَامُلٌ كَمَا لَا يَخْفَى ؛ فَلَا يَحْتَاجُ عَلَى هَذَا إلَى تَخْصِيصِ الْقَوْلِ بِجَوَازِ وَقْفِهَا بِمَذْهَبِ الْإِمَامِ زُفَرَ مِنْ رِوَايَةِ الْأَنْصَارِيِّ وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ ، وَقَدْ أَفْتَى مَوْلَانَا صَاحِبُ الْبَحْرِ بِجَوَازِ وَقْفِهَا وَلَمْ يَحْكِ خِلَافًا .
v      البحر الرائق - (ج 5 / ص 219(
وَعَنْ الْأَنْصَارِيِّ وكان من أَصْحَابِ زُفَرَ في من وَقَفَ الدَّرَاهِمَ أو الدَّنَانِيرَ أو الطَّعَامَ أو ما يُكَالُ أو يُوزَنُ أَيَجُوزُ قال نعم .قِيلَ وَكَيْفَ قال تُدْفَعُ الدَّرَاهِمُ مُضَارَبَةً ثُمَّ يُتَصَدَّقُ بها في الْوَجْهِ الذي وَقَفَ عليه وما يُكَالُ وما يُوزَنُ يُبَاعُ وَيُدْفَعُ ثَمَنُهُ مُضَارَبَةً أو بِضَاعَةً
v      الحاوى الكبير ـ الماوردى - )ج 7 / ص 1299(
فَصْلٌ : وَقْفُ الدِّرْهَمِ وَالدَّنَانِيرِ حكمه لَا يَجُوزُ وَقْفُهَا لِاسْتِهْلَاكِهَا فَكَانَتْ كَالطَّعَامِ ، وَرَوَى أَبُو ثَوْرٍ ، عَنِ الشَّافِعِيِّ جَوَازَ وَقْفِهَا وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ مَحْمُولَةٌ عَلَى وَقْفِهَا عَلَى أَنْ يُؤَاجِرَهَا لِمَنَافِعِهَا لَا لِاسْتِهْلَاكِهَا بِأَعْيَانِهَا ، فَكَأَنَّهُ أَرَادَ وَقْفَ الْمَنَافِعِ وَذَلِكَ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ وَقَفَهَا لِلْإِجَارَةِ وَالِانْتِفَاعِ الْبَاقِي ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْإِجَارَةِ .
v      المجموع شرح المهذب - (ج 15 / ص 321)
(فصل) واختلف أصحابنا في الدراهم والدنانير، فمن أجاز إجارتها أجاز وقفها، ومن لم يجز إجارتها لم يجز وقفها، واختلفوا في الكلب فمنهم من قال لا يجوز وقفه لان الوقف تمليك والكلب لا يملك. ومنهم من قال يجوز الوقف لان القصد من الوقف المنفعة وفى الكلب منفعة فجاز وقفه، واختلفوا في أم الولد فمنهم من قال يجوز وقفها لانه ينتفع بها على الدوام فهى كالامة القنة، ومنهم من قال لا يجوز لانها لا تملك
v      مفاتيح الغيب - (ج 5 / ص 116)
واعلم أن الإنفاق هو صرف المال إلى وجوه المصالح

Jawaban B:
Boleh, jika mengacu pada jawaban sub A (infaq tunai), karena status dana tersebut bimanzilati maal al yatim (diberlakukan seperti harta anak yatim), sehingga panitia boleh menggunakan sebagian dari dana tersebut untuk biaya cetak logistik atau biaya operasional program selama hal itu ada unsur kemaslahatan. Dan apabila yang dikehendaki dari dana tersebut adalah wakaf tunai, maka tidak boleh menggunakan untuk biaya cetak logistik atau biaya operasional program.

Dasar Pengambilan :

v بغية المسترشدين ص 258
(مسبلة : ب) وظيفة الولي فيما تولي فيه حفظة وتعهده والتصرف فيه بالغيطة والمصلحة وصرفه في مصارفه من حيث إجمال وما من حيث تفصيل فقد يختلف الحكم في بعض فروع مسئل الأولياء.
v    روضة الطالبين - (ج 4 / ص 187)
 وأما كيفية التصرف فالقول الجملي فيه كون التصرف على وجه النظر والمصلحة فيجوز للولي أن يشتري له العقار بل هو أولى من التجارة فإن لم يكن فيه مصلحة لثقل الخراج أو جور السلطان أو إشراف الموضع على الخراب لم يج
v     حواشي الشرواني والعبادي - (ج 5 / ص 186)
( فَرْعٌ ) لَيْسَ لِلْوَلِيِّ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْ مَالِ مُوَلِّيهِ إنْ كَانَ غَنِيًّا مُطْلَقًا فَإِنْ كَانَ فَقِيرًا وَانْقَطَعَ بِسَبَبِهِ عَنْ كَسْبِهِ أَخَذَ قَدْرَ نَفَقَتِهِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ وَرَجَّحَ الْمُصَنِّفُ أَنَّهُ يَأْخُذُ الْأَقَلَّ مِنْهَا وَمِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ وَإِذَا أَيْسَرَ لَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُ مَا أَخَذَهُ . قَالَ الْإِسْنَوِيُّ هَذَا فِي وَصِيٍّ أَوْ أَمِينٍ أَمَّا أَبٌ أَوْ جَدٌّ فَيَأْخُذُ قَدْرَ كِفَايَتِهِ اتِّفَاقًا سَوَاءً الصَّحِيحُ وَغَيْرُهُ وَاعْتُرِضَ بِأَنَّهُ إنْ كَانَ مُكْتَسِبًا لَا تَجِبُ نَفَقَتُهُ وَيُرَدُّ بِأَنَّ الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ لَا يُكَلَّفُ الْكَسْبُ فَإِنْ فُرِضَ أَنَّهُ اكْتَسَبَ مَالًا يَكْفِيهِ لَزِمَ فَرْعَهُ تَمَامُ كِفَايَتِهِ وَحِينَئِذٍ فَغَايَةُ الْأَصْلِ هُنَا أَنَّهُ اكْتَسَبَ دُونَ كِفَايَتِهِ فَيَلْزَمُ الْوَلَدَ تَمَامُهَا فَاتُّجِهَ أَنَّ لَهُ أَخْذَ كِفَايَتِهِ الْبَعْضَ فِي مُقَابَلَةِ عَمَلِهِ وَالْبَعْضُ لِقَرَابَتِهِ
وَقِيْسَ بِوَلِيِّ الْيَتِيْمِ فِيْمَا ذُكِرَ مَنْ جَمَعَ مَالاً لِفَكِّ أَسْرٍ أَيْ مَثَلاً فَلَهُ إِنْ كَانَ فَقِيْرًا اْلأَكْلُ مِنْهُ كَذَا قِيْلَ وَالْوَجْهُ أَنْ يُقَالَ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ قَالَ الشَّرْوَانِي (قَوْلُهُ أَي مَثَلاً) يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِخَلاَصِ مَدِيْنٍ مُعْسِرٍ أَوْ مَظْلُوْمٍ مُصَادَرٍ وَهُوَ حَسَنٌ مُتَعَيَّنٌ حَثًّا وَتَرْغِيْبًا فِيْ هَذِهِ الْمُكَرَّمَةِ. أهـ سَيِّد عُمَر. أَقُوْلُ وَكَذَا يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِنَحْوِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ. (قَوْلُهُ وَ كَذَا قِيْلَ) لَعَلَّ قَائِلَهُ بَنَاهُ عَلَى مُصَحِّحِ الرَّافِعِيِّ. اهـ سيد عمر. (قَوْلُهُ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ ) النَّفَقَةُ وَاُجْرَةُ الْمِثْلِ .
v     المهذب - (ج 1 / ص 442)
  فصل وإذا صح الوقف لزم وانقطع تصرف الواقف فيه  لما روى ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعمر رضي الله عنه إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها لا تباع ولا توهب ولا تورث ويزول ملكه عن العين

Jawaban C :
boleh jika dana tersebut bukan wakaf tunai, namun sekedarnya saja (ujroh mitsl)
Dasar Pengambilan :

v    إعانة الطالبين (ج 3 / ص 88(
( فرع ) ليس لولي أخذ شيء من مال موليه إن كان غنيا مطلقا فإن كان فقيرا وانقطع بسببه عن كسبه أخذ قدر نفقته وإذا أيسر لم يلزمه بدل ما أخذه ( قوله ليس لولي الخ ) أي يحرم عليه ذلك ( قوله إن كان ) أي الولي وقوله مطلقا أي سواء انقطع بسببه عن كسبه أم لا ( قوله فإن كان فقيرا الخ ) مقابل قوله غنيا ( قوله أخذ قدر نفقته ) قال في التحفة ورجح المصنف أنه يأخذ الأقل منها ومن أجرة مثله
v    المجموع شرح المهذب - (ج 13 / ص 358)
وعليه إذا أراد الولى أن يأكل من مال الصبى أو المولى عليه، فان كان الولى غنيا لم يجز له أن يأكل منه، وان كان فقيرا وقد انقطع عن أي عمل إلا على مال المولى عليه، وليس له مورد للكسب لنفسه، فقد قال الشافعي رضى الله عنه: فله أن يأخذ من ماله أقل الامرين من كفايته. أو أجرة عمله. 
v    روضة الطالبين وعمدة المفتين (ج 2 / ص 54(
فرع ليس للولي أخذ أجرة ولا نفقة من مال الصبي إن كان كان فقيرا وانقطع بسببه عن الكسب فله أخذ  قدر النفقة وفي التعليق أنه يأخذ أقل الأمرين من قدر النفقة وأجرة المثل.
قلت: هذا المنقول عن التعليق هو المعروف في أكثر كتب العراقيين ونقله صاحب  البيان عن أصحابنا مطلقاً وحكاه هو وغيره عن نص الشافعي رضي الله عنه وحكى  الماوردي والشاشي وجهاً أنه يجوز أيضاً للغني أن يأكل بقدر أجرته والصحيح  المعروف القطع بأنه لا يجوز للغني مطلقاً والله أعلم




[1]  Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, tt, juz, 1, h. 256.
[2] Syaikh Nizham dan para ulama India, al-Fatawa al-Hindiyah, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 2, h. 362.
[3]  Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h.20-21.
[4]  Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz viii, h. 16.
[5]  al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz ix, h.379.
[6]  al Nawawi, al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 15, h. 321.
[7] al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz ix, h.379. al Nawawi, al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 15, h. 321. Ibnu Abidin, Rad al Muhtar, al Maktabah al Syamilah, tt, juz 17, h 248.  Zain al Dien Ibn najim, al Bahr al Rawaaiq, al Maktabah al Syamilah, tt, juz 5, h 219.
8  Imam Fakhruddin ar-Rozi,Mafatih al Ghaib, al Maktabah al Syamilah, tt, juz 5, h 116.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Terima kasih pada FThemes.com | Converter: Blogger Themes & Blogger Templates
Flippa